Bebas

man-free-sign Oleh: Reza A.A Wattimena

Semua orang mencari kebebasan. Mereka rela mati demi mendapatkannya. Mereka rela berjuang menempuh kesulitan hidup, guna merengkuhnya. Sejarah dunia adalah sejarah perjuangan mencari kebebasan, begitu kata Hegel, seorang filsuf Jerman pada abad 17.

Namun ketika orang mendapatkannya, mereka justru ragu. Kebebasan membawa orang pada ketidakpastian. Tidak ada lagi aturan yang mesti dipatuhi. Bahkan orang diminta membuat peraturan untuk dirinya sendiri. Ini bukan pekerjaan mudah.

Apakah itu terjadi karena kita salah dalam memahami kebebasan? Apa sebenarnya makna kebebasan sekarang ini?

Aristoteles berpendapat bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai eudaimonia, atau kepenuhan diri. Beberapa ahli Yunani kuno menterjemahkan kata itu sebagai kebahagiaan sejati. Jika orang sudah mendapatkannya, maka ia tidak akan menginginkan apapun lagi. Hidupnya sudah penuh dengan sendirinya. (Aristotle, Nicomachean Ethics)

Dalam arti ini kebebasan adalah segala tindakan manusia yang mengarah pada kepenuhan diri sejati tersebut. Caranya adalah dengan menajamkan semua dimensi diri khas manusia, terutama akal budinya. Akal budi akan membimbing manusia di dalam pencarian kebenaran. Akal budi juga akan membimbing manusia untuk menjadi bijaksana di dalam hidup sehari-hari.

Maka kebebasan bukanlah sesuatu yang netral, melainkan mengarah pada penajaman akal budi manusia. Dengan akal budinya manusia bisa mengembangkan keutamaan-keutamaan dirinya, seperti sikap berani, adil, jujur, siap berkorban, dan sebagainya. Kebebasan mengabdi pada tujuan yang lebih tinggi, yakni keutamaan dan kepenuhan diri sejati. Kebebasan bukanlah tujuan pada dirinya sendiri.

Agustinus berpendapat bahwa kebebasan bukanlah perilaku ataupun tindakan, melainkan kehendak. Kebebasan paling murni adalah kehendak bebas. Manusia memang ciptaan Tuhan. Namun manusia memiliki status istimewa, karena ia memiliki kehendak bebas di dalam dirinya. (Augustine, Confession)

Tuhan pun tidak bisa ikut campur mempengaruhi kehendak bebas manusia. Tuhan bisa memerintah namun manusia bisa menolak, karena ia memiliki kehendak bebas. Kejahatan lahir bukan karena Tuhan menciptakannya, tetapi karena manusia bisa memilih yang jahat dan yang baik di dalam hidupnya. Dengan kehendak bebasnya manusia bisa memutuskan, apakah ia akan menjadi orang yang baik, atau tidak.

Thomas Aquinas berpendapat bahwa manusia selalu terdorong untuk melakukan yang baik. Inilah kodrat manusia yakni ia selalu terdorong untuk melakukan yang baik. (Aquinas, Summa Theologiae) Namun dorongan ini bukanlah paksaan. Manusia selalu bisa melakukan yang sebaliknya, jika ia memilih seperti itu.

Kebebasan tertanam di dalam kodrat manusia sebagai persona. Sebagai persona ia memiliki nilai pada dirinya sendiri. Ia tidak hanya merupakan debu semesta, tetapi mahluk berharga yang memiliki martabat. Namun status persona ini juga memungkinkan manusia untuk memilih yang salah. Inilah misteri kebebasan.

Thomas Hobbes berpendapat bahwa pada kondisi alamiah, manusia adalah mahluk yang jahat. Pada kodratnya manusia itu bodoh dan egois. Ia terdorong untuk menghancurkan orang lain, guna memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Ia cenderung tidak rasional di dalam bertindak dan membuat keputusan. (Hobbes, Leviathan)

Namun manusia takut untuk mati. Di dalam ketakutan untuk mati itu, ia berbicara bersama musuh-musuhnya, membuat kontrak perjanjian bersama, dan menciptakan pemerintah yang kuat. Pemerintah yang kuat itulah yang disebut sebagai Leviathan. Kontrak sosial dan kehadiran Leviathan adalah tata politik yang memungkinkan manusia hidup bersama dalam stabilitas.

Di dalam filsafat politik Hobbes, kebebasan baru muncul, setelah tata politik lahir. Dalam arti ini kebebasan adalah kesempatan manusia untuk mengembangkan diri di dalam tata politik yang damai. Di dalam kondisi alamiah, yang ada adalah perang. Memang manusia bebas untuk berperang, tetapi kebebasannya amat terbatas.

Bagi Jean Jacques-Rousseau, kebebasan manusia terwujud di dalam kemampuannya untuk menentukan pilihan politik. Baginya dasar politik adalah kehendak umum, dan bukan warisan turun temurun. Yang berkuasa harus mendasarkan pada kehendak rakyatnya. Rakyat memiliki kebebasan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil penguasanya. (Rousseau, Social Contract)

Bagi Rousseau pada kondisi alamiahnya, manusia adalah mahluk yang baik. Yang membuat manusia jahat adalah masyarakat.(Rousseau, Emile) Namun kejahatan tersebut bisa dikurangi, jika masyarakat diatur berdasarkan kehendak umum warganya. Kehendak umum inilah simbol dari kebebasan warga untuk mengatur dirinya sendiri.

Bagi Immanuel Kant kebebasan adalah otonomi moral. Dalam arti ini otonomi adalah kemampuan orang untuk menentukan dirinya sendiri. Dengan akal budinya orang bisa secara rasional menentukan, apa yang baik dan apa yang jahat. (Kant, Critique of Practical Reason) Ada beberapa kriteria etika yang dirumuskannya.

Pertama, dengan kebebasannya orang bisa menentukan, apakah suatu tindakan bisa dijadikan hukum universal atau tidak. Kedua, juga dengan kebebasannya, orang bisa menentukan, apakah tindakannya menjadikan orang sebagai tujuan pada dirinya sendiri, atau semata alat bagi kepentingannya. Bagi Kant manusia memiliki martabat yang tinggi. Ia tidak bisa dijadikan alat untuk kepentingan apapun.

Dan yang ketiga, manusia memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Dengan kebebasannya ia bisa memilih, apakah akan mengikuti kewajiban moralnya, atau tidak. Ide ini juga mempengaruhi pemikiran Hegel. (Hegel, Phenomenology of Spirit) Bagi Hegel dan para pemikir Idealisme Jerman lainnya, kebebasan adalah determinasi diri, yakni kemampuan rasional manusia untuk memilih apa hakekatnya.

Pada abad kedua puluh, Hannah Arendt berpendapat, bahwa manusia adalah mahluk yang mampu bertindak. Dengan bertindak manusia membedakan diri dengan benda ataupun mahluk lainnya. (Arendt, Human Condition) Dengan bertindak manusia mampu bertindak berbeda dari apa yang diharapkan. Dengan bertindak manusia bisa mengawali sesuatu yang sebelumnya tak ada.

Juga dengan bertindak manusia bisa terlibat untuk memperbaiki masyarakatnya. Arendt menyarankan agar warga tidak hanya menggunakan kebebasannya untuk memuaskan diri, tetapi juga aktif terlibat di dalam memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Inilah esensi kebebasan baginya, yakni sebagai keberanian untuk bertindak dan terlibat. Hanya dengan itu manusia bisa sungguh membedakan dirinya dari hewan dan benda.

Bagi para pemikir Mazhab Frankfurt, kebebasan manusia terwujud di dalam sikap kritis untuk menyibak mitos-mitos yang ada di masyarakat. Dalam arti ini mitos adalah tampilan yang menutupi kebenaran di baliknya. Mitos bersifat irasional namun seolah tampak rasional. Dengan teori kritisnya Horkheimer mengajak orang menggunakan kemampuan akal budi kritis, guna membebaskan masyarakat dari belenggu ideologi dan mitos. (Horkheimer, Critical Theory)

Habermas melanjutkan pendapat itu. Baginya ilmu pengetahuan di dalam masyarakat tidak pernah netral. Ilmu alam selalu digendong oleh kepentingan untuk mengontrol alam. Ilmu sosial selalu digendong kepentingan untuk memahami masyarakat. Sementara ilmu kritis selalu digendong oleh kepentingan untuk membebaskan manusia dengan menggunakan pola berpikir kritis. (Habermas, Knowledge and Human Interest)

Bagi Sartre semua ini mungkin, karena kebebasan selalu sudah menempel di dalam keberadaan manusia. Kebebasan adalah kodrat manusia. Manusia bisa menentukan apa hakekat dirinya. Ia tidak final dan selalu dalam proses untuk berubah ke arah yang ia pilih. (Sartre, Being and Nothingness)

Manusia dikutuk untuk menjadi bebas, begitu kata Sartre. Bukan berarti manusia membenci kebebasan. Manusia hanya tidak bisa lari dari kebebasan. Kebebasan bukanlah pilihan melainkan keniscayaan eksistensinya.

Kebebasan bukanlah berarti anarki. Kebebasan adalah kemampuan manusia untuk menentukan arah. Lalu seluruh hidupnya ditentukan untuk mewujudkan arah itu menjadi kenyataan. Ini pendapat saya setelah menelusuri beragam arti kebebasan di dalam sejarah filsafat barat.

Misalnya anda memilih untuk menjadi seorang guru. Kebebasan tertinggi terletak di dalam pilihan untuk menjadi seorang guru. Namun setelah itu semua usaha anda terikat pada arah yang telah anda buat sendiri, yakni menjadi guru. Artinya anda harus memilih segala sesuatu yang nantinya akan membawa anda pada mimpi anda tersebut.

Inilah makna kebebasan yang sejati, yakni kebebasan untuk mengabdi pada tujuan hidup yang telah kita buat sebelumnya. Inilah yang pada hemat saya paham kebebasan yang perlu untuk kita peluk sekarang ini.***

Gambar dari http://cashtactics.net/wp-content/uploads/2009/02/man-free-sign.jpg

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala Surabaya

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Bebas”

  1. Salah satunya juga adalah kebebasan untuk memaknai ulang hidup dari hari ke hari. Itu termasuk pula kebebasan dari asumsi-asumsi yang membelenggu diri tanpa disadari 🙂

    Suka

  2. Salam kenal pak Reza. Saya Alhamudin Sitorus, mahasiswa kriminologi UI. Saya sedang menulis skripsi ttg kejahatan dalam sudut pandang eksistensialisme sartre.. Tulisan-tulisan bpk sgt membantu sy memahami eksistensialisme.. ada beberapa hal yang ingin sy tanyakan mengenai kebebasan sartre.. apakah hukuman “mematikan” eksistensi manusia? jika ya, perlukah hukum? trm ksh sblmnya

    Suka

  3. Terima kasih. Salan kenal Pak Sitorus. Tema skripsi anda amat menarik. Menurut saya, hukum tetap perlu untuk mengelola hidup bersama. Justru sebaliknya, menurut saya, hukum, yang adil dan diterapkan secara konsisten, justru bisa mengembangkan eksistensi manusia. Untuk bisa menjadi otentik dan bahagia, eksistensi manusia membutuhkan eksistensi manusia lainnya. Hukum berfungsi untuk mengelola hubungan dari berbagai manusia tersebut secara adil dan konsisten.

    Suka

  4. bagaimana dengan manusia yang di penjara (kehilangan kemampuan menidak), pak? apakah eksistensi nya mati? satu hal lg pak, hukum yang adil dan konsisten itu seperti apa? apakah memperlakukan semua manusia dengan sama di mata hukum, atau memerhatikan subyektivitasnya? trm ksh sblmnya pak..

    Suka

  5. Eksistensi manusia tidak ada hubungan dengan kemampuan. Eksistensi terkait dengan “kemanusiaannya”. Selama ia manusia, selama itu pula ia punya eksistensi. Hukum yang adil itu memperlakukan yang sama sebagai yang sama, dan yang berbeda sebagai yang berbeda. Artinya hukum sekaligus menerapkan pasal-pasal yang telah disepakati, dan sekaligus melihat subyektivitas pelaku maupun korban. PAda titik ini, hakim yang harus berani mengambil keputusan.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.