Agama, Kebebasan, dan Perdamaian Dunia

worldpeace2 

Agama, Kebebasan, dan Perdamaian Dunia

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Tragedi itu terjadi lagi. Rumah-rumah ibadah di Temanggung dihancurkan. Orang-orang hidup dalam suasana penuh ketegangan. Bangsa kita terperosok lagi di dalam lubang masalah yang sama.

Di dalam pola konflik yang berulang tersebut, kita perlu bertanya, bagaimana ini supaya tidak berulang lagi? Yang kita perlukan adalah kebebasan beragama. Setiap orang memiliki hak asasi untuk memilih jalan hidup dan agamanya. Yang harus melindungi hak ini bukan hanya pemerintah, tetapi juga kita semua.

Panggilan Hati

Setiap orang memiliki panggilan hati. Panggilan hati tersebut mengetuk dari dalam, dan mengarahkan hidupnya. Salah satu panggilan hati terdalam adalah panggilan hati keimanan dan agamanya. Orang tidak bisa dipaksa memeluk suatu agama. Itu harus muncul dari lubuk hatinya yang terdalam.

Di dalam masyarakat yang sudah dewasa, kebebasan beragama amat dihargai. Setiap orang diminta untuk merefleksikan pengalaman hidupnya, melihat ke dalam dirinya, lalu menentukan agamanya. Jika ia sudah memilih, maka ia akan mengikatkan diri pada nilai-nilai luhur yang diajarkan agamanya. Ia akan beragama secara otentik, bukan ikut-ikutan.

Di Indonesia kebebasan beragama masih langka. Orang tidak memilih agama, karena itu merupakan panggilan nuraninya, melainkan karena tekanan dari masyarakat tempat hidupnya. Agama seseorang bukanlah cerminan keyakinan dirinya yang utuh, melainkan simbol konformitas terhadap komunitas tempat tinggalnya. Akibatnya orang beriman dan beragama secara setengah-setengah dan dangkal.

Maka kebebasan beragama adalah sesuatu yang amat penting, supaya orang bisa sungguh beriman dan beragama secara utuh dan sempurna. Kebebasan beragama adalah prasyarat bagi terciptanya masyarakat religius yang bijaksana. Indonesia harus menempatkan kembali kebebasan beragama sebagai hak asasi yang utama. Jika kebebasan beragama ini telah menjadi kenyataan, maka konflik yang terkait dengan agama pun akan berkurang.

Belajar dari Masa Lalu

Kita perlu belajar dari masa lalu. Tanpa kebebasan beragama yang akan terjadi adalah perang antara agama yang berkepanjangan. Jutaan manusia menjadi korban. Trauma kolektif pun diwariskan ke generasi berikutnya, dan menjadi peluang untuk terciptanya konflik baru di masa depan.

Di Indonesia kita seolah tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalu. Berbagai perbuatan tercela terulang tanpa ada refleksi dan pemikiran. Korupsi berulang tanpa bisa ditahan. Konflik atas nama agama bagaikan lingkaran setan yang tidak bisa diputuskan.

Maka sudah saatnya kita belajar kembali dari masa lalu kita. Kita lihat dan telaah, apa yang telah terjadi sebelumnya, dan apa sebabnya. Lalu kita gunakan pelajaran itu di dalam membuat kebijakan, supaya hal buruk yang sama tidak lagi terulang. Dengan belajar dari masa lalu, kita tidak perlu jatuh ke dalam lubang permasalahan yang sama.

Perdamaian Dunia

Kunci dari perdamaian dunia adalah perdamaian antar agama. Inilah argumentasi yang berulang kali dikatakan dan ditulis oleh seorang teolog dan fisuf asal Jerman, Hans Kueng. Perdamaian antar agama berarti orang siap menghormat hak setiap orang untuk memeluk agama yang sesuai dengannya. Bisa dengan tegas dinyatakan, bahwa esensi dari perdamaian dunia adalah kebebasan beragama.

Di Indonesia perdamaian tidak akan pernah tercipta, karena agama minoritas terus mengalami diskriminasi dari agama mayoritas. Orang-orang yang berasal dari agama minoritas terbatas di dalam mendapatkan sumber daya maupun fasilitas yang ada. Akibatnya mereka memutuskan berpindah agama. Yang tercipta kemudian adalah orang-orang yang beragama dan beriman secara palsu, karena iman dan agama yang mereka peluk tidak muncul dari panggilan hati nurani yang terdalam, melainkan dari rasa terpaksa.

Situasi semacam ini tidak bisa dibiarkan. Konflik antar kelompok akan terjadi, jika situasi ini diabaikan. Diskriminasi di berbagai bidang kehidupan haruslah dilenyapkan. Kebebasan beragama haruslah dipertahankan dan terus diperjuangkan. Hanya begitu perdamaian yang sesungguhnya bisa tercipta.

Kesejahteraan Bersama

Untuk bisa menciptakan kesejahteraan bersama, kita perlu menciptakan perdamaian dunia. Dan perdamaian dunia hanya bisa tercipta, hanya bila tercipta perdamaian antar agama. Perdamaian antar agama yang sejati hanya dapat tercipta, jika prinsip kebebasan beragama terus dipertahankan dan diperjuangkan. Semua hal ini saling terkait, tanpa bisa terpisahkan.

Di Indonesia kita ingin menciptakan masyarakat yang sejahtera. Namun kebebasan beragama yang merupakan esensi dari perdamaian antar agama tidak diperjuangkan dengan sepenuh hati. Akibatnya kesejahteraan bersama juga tidak akan tercipta. Bangsa kita akan terus hidup dalam kemiskinan material maupun jiwa. Rakyatnya hidup dalam kecemasan dan ketakutan akan konflik yang seolah akan berulang selamanya.

Maka kita perlu mengingat kembali, betapa pentingnya prinsip kebebasan beragama itu bagi masyarakat Indonesia. Hanya dengan melihat arti penting dari prinsip ini, dan menerapkannya di dalam setiap pembuatan kebijakan, bangsa kita bisa merangkak dari kemiskinan materi maupun jiwanya. Pada akhirnya surga tidak harus diperoleh setelah kematian. Kita bisa menciptakannya disini, di dunia, selama kita berjuang untuk mewujudkan kebebasan beragama, mendorong terciptanya perdamaian antar agama, berjuang untuk perdamaian dunia, dan hidup di dalam keadilan serta kesejahteraan bersama.***

Penulis

Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik,

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

3 tanggapan untuk “Agama, Kebebasan, dan Perdamaian Dunia”

  1. Agama sebagai sebuah cara mengeksplorasi spiritualitas diri bisa membawa pada kedamaian. Sebaliknya, agama sebagai institusi untuk justifikasi identitas lah yang mengantar kita pada konflik rendahan yang kita temui saat ini. Sayang sekali, spiritualitas universal dan ke-Maha-an Tuhan dilecehkan sebagai dekorasi pertunjukan kerendahan akal budi dan ketidakmampuan memahami diri sebagai manusia 🙂

    Suka

  2. Ya. Di Indonesia agama dipakai sebagai kendaraan politik. Jika sudah begitu kekerasan pun tak terhindarkan. Misteri Ilahi yang terungkap di dalam keunikan tiap agama lenyap digantikan kepentingan politik murahan yang tak lebih dari perpanjangan tangan sikap rakus semata.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.