“Mafia” Gerakan Anti Mafia
Oleh: REZA A.A WATTIMENA
Indonesia boleh berbangga. Banyak warganya yang kini aktif turun ke jalan, guna menunjukkan rasa peduli mereka. Para pemuka agama menyuarakan suara hati rakyat jelata. Para akademisi dan aktivis politik yang menunjukkan rasa peduli pada penderitaan orang-orang yang digilas ketidakadilan dunia. Mereka ingin melawan mafia-mafia yang bercokol di dalam dunia politik Indonesia.
Namun jangan sampai itu semua hanya menjadi euforia semata. Kita juga perlu waspada terhadap mafia yang mungkin saja menyokong gerakan anti mafia ini. Gerakan moral memang bisa menjadi fungsi kontrol. Namun perlu juga kita sadar, bahwa kita juga memerlukan kontrol lapis dua, yakni pengontrol para fungsi kontrol.
Dilema Demokrasi
Kita hidup di dalam masyarakat demokratis. Memang sampai saat ini, inilah sistem terbaik yang memungkinkan setiap orang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan mereka. Untuk sementara belum ada pilihan lainnya yang tersedia. Namun demokrasi pun tak luput dari cacat cela.
Demokrasi mengedepankan kontrol terhadap kekuasaan dan penguasa. Namun siapa nantinya mengontrol para pengontrol? Jika rakyat adalah penguasa, maka sebenarnya siapa yang mengontrol rakyat yang notabene adalah penguasa “tunggal”? Inilah dilema yang selalu hidup di dalam sistem demokrasi.
Di Indonesia dilema ini juga seringkali ada. DPR bertugas menghasilkan kebijakan dan mengawasi jalannya pemerintahan. Namun siapa yang mengawasi kinerja DPR? Apakah rakyat? Namun konsep rakyat adalah suatu konsep yang abstrak. Retorika “kehendak rakyat” sering juga membuat kita terjebak.
Namun dilema itu haruslah ditempatkan sebagai kelemahan yang tak dapat dihindarkan di dalam demokrasi. Artinya walaupun memiliki kelemahan, demokrasi masih merupakan sistem yang paling mungkin, guna membuka ruang bagi keadilan dan pengembangan masyarakat yang sejati. Kata kuncinya adalah partisipasi rakyat yang aktif di dalam kehidupan bersama. Partisipasi rakyat yang luas dan kritis akan membuat demokrasi menjadi perkasa.
Partisipasi Rakyat
Gerakan anti mafia yang muncul belakangan ini adalah bentuk partisipasi rakyat yang amat baik. Mereka adalah warga yang peduli, dan ingin menyuarakan kepedulian itu ke publik. Mereka ingin mengajak masyarakat untuk turut peduli, dan ikut bergerak. Harapan mereka perubahan akan muncul dari aktivitas politik tersebut.
Di Indonesia gerakan-gerakan semacam itu amat jarang. Masih banyak orang tidak peduli pada isu-isu publik. Mereka mengurung diri di dalam kehidupan mereka yang amat nyaman. Tak heran gerakan moral semacam itu tidak bertahan.
Yang kita perlukan adalah partisipasi lebih banyak warga. Tunisia berhasil menjatuhkan rezim korup, akibat gerakan warga yang aktif dan peduli. Institusi-institusi yang masih steril dari isu-isu publik harus mulai mengubah visi. Tanpa gerakan politik yang kuat, yang didukung oleh partisipasi rakyat yang besar, Indonesia tidak akan pernah berubah ke arah yang lebih baik.
Sejatinya menjadi aktif secara politik itu mudah. Orang tidak perlu ikut mencalonkan diri di arena politik praktis secara penuh. Cukup mereka memikirkan cara untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik, dan mencoba menerapkannya di lingkungan masing-masing. Aktivitas politik adalah aktivitas yang selalu terkait dengan upaya menciptakan kehidupan bersama yang bernilai.
Mafia Gerakan Anti Mafia
Namun itu semua bukan tanpa bahaya. Gerakan anti mafia bisa juga ditunggangi oleh mafia lainnya. Gerakan “kontrol sosial” tanpa kontrol sosial yang baik juga bisa membawa petaka. Adalah tugas kita bersama untuk menjamin, bahwa gerakan anti mafia tidak akan menjadi mafia baru yang kasat mata.
Sampai saat ini di Indonesia, itu belum terjadi. Gerakan anti mafia baru mulai, dan masih menarik untuk dicermati. Namun bukan berarti itu tidak akan pernah terjadi. Bangsa kita sudah terbukti mampu menciptakan mafia di bidang apapun.
Maka itu kehadiran gerakan anti mafia ini perlu kita sambut dengan meriah, sekaligus dengan sikap awas. Di alam demokrasi segala sesuatu, termasuk yang paling tampak baik sekalipun, perlu untuk dicermati. Hanya dengan begitu kekuasaan tidak akan pernah disalahgunakan. Hanya dengan begitu pula, masyarakat yang adil lebih mudah diciptakan.
Distorsi Kepentingan
Mafia gerakan anti mafia bisa lahir, karena adanya tekanan kepentingan diri. Gerakan anti mafia bisa tetap terbentuk, namun misinya tidak lagi murni. Gerakan tersebut bisa menggendong agenda politis tertentu untuk meningkatkan reputasi diri. Gerakan tersebut bisa dipelintir menjadi gerakan politis yang tanpa arti.
Mafia gerakan anti mafia juga bisa lahir, karena adanya tekanan kepentingan golongan tertentu. Sama seperti sebelumnya misinya tidak lagi untuk kebaikan bersama, melainkan untuk mempropagandakan kepentingan-kepentingan golongan yang sifatnya semu. Agenda politisnya juga tampak baik, namun bukan itu misi yang sebenarnya. Mereka memelintir misi yang sejati, yakni membongkar mafia di berbagai bidang kehidupan bersama di Indonesia, menjadi pertarungan politis untuk merebut pengaruh semata.
Kita hidup di era pragmatisme. Segala sesuatu berorientasi pada hasil, tanpa peduli pada proses. Padahal kesejatian selalu lahir dari proses sulit dan lama. Jangan sampai gerakan anti mafia yang sekarang ini bangkit juga digendong oleh pragmatisme dangkal, dan lupa pada esensinya. Kita semua perlu mendukung, dan mengawal prosesnya. ***
Penulis
Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik,
Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Nice and sharp!
Mafia anti mafia, itu sesuatu yang sangat mungkin di negeri yang sangat kreatif dalam pragmatisme politiknya. Walau demikian, kelompok kepentingan yang menjadi backing gerakan ini ada manfaatnya juga, dalam artian bahwa mereka men-supply keseimbangan yang diperlukan power dynamic. Namun, seperti yang diargumenkan dalam tulisan ini, partisipasi aktif publik sangatlah menentukan agar keseimbangan terjaga.
SukaSuka
ya. Kepentingan memang tidak dapat dihindari dari praktek politik. Yang penting adalah orang cukup tegas menyatakan kepentingannya, dan siap mempertanggungjawabkannya di hadapan publik. DI dalam ruang publiklah kita berdialog tentang legitimasi dari praktek-praktek politik dan kepentingan di belakangnya.
SukaSuka
Betul. Sesungguhnya esensinya terletak pada proses check and balance itu. Sesuatu yang sangat mendasar tapi sering terbelokkan.
SukaSuka
Harapan munculnya partisipasi publik untuk ikut menyuarakan kepedulian memang sangat sulit. Kecenderungan untuk mengurung diri, mencoba menikmati kenyamanan yang ada, dan tidak terlibat dalam hal-hal yang bersinggungan dengan kekuasaan memang selalu terjadi pada masyarakat kita. Dengan berbagai kepandaian dalam berteori kadang masyarakat mencoba beralasan mengapa mereka bertahan terhadap keputusannya untuk tidak ikut menyuarakan kepedulian. Memang sangat disayangkan, sebagai makhluk yang mulia manusia masih takut untuk menyuarakan kebenaran dan kepedulian atas apa yang terjadi, hanya demi kenyamanan diri sendiri.
Thx Reza atas tulisannya. JBU.
SukaSuka
Ya. Itu gejala apatisme publik. Biasanya karena takut dan cari aman. Atau bisa juga karena mereka tidak peduli. Itu masalah terbesar Indonesia sekarang ini.
SukaSuka