Opera Van Java dan Filsafat Nietzsche

kakashicosplay Opera Van Java

Opera Van Java dan Filsafat Nietzsche

Oleh: SENTOSA

Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala Surabaya

Nama-nama artis seperti: Parto, Sule, Andre Taulani, Aziz ‘Gagap’ dan Nunung tidaklah asing bagi masyarakat Indonesia saat ini. Wajah-wajah mereka hampir tiap hari muncul di salah satu stasiun televisi nasional. Opera Van Java, demikian nama acara stasiun televisi tersebut. Ketika jam mulai menunjukkan pukul 20.00 BBWI, baik anak-anak maupun orang dewasa, mulai bersiap di depan layar televisi untuk mengikuti acara tersebut. Acaranya cukup menghibur mereka. Tampilan para bintangnya yang lucu, kreatif, spontan, bahkan tak jarang terkesan urakan memberikan suatu kelucuan tersendiri. Unik, adalah kata yang pas diberikan kepada acara Opera Van Java atau disingkat OVJ ini. Unik karena OVJ berbeda dengan acara-acara hiburan yang lain.

Apabila dibandingkan dengan acara-acara lawakan khas Indonesia yang lain, seperti Srimulat, Tawa Sutra, Ketoprak Humor, dan lain sebagainya, ada perbedaan yang cukup berarti. Perbedaan itu antara lain: dalam hal skenario. Dalam acara-acara seperti Srimulat dan Ketoprak humor, skenario yang mereka berikan cukup tersusun rapi. Walau tidak memungkiri akan adanya spontanitas dari para pemainnya, sang sutradara tetap memberikan draft skenario dialog yang dikatakan. Sedangkan dalam acara OVJ, para artisnya tidak disodori draft skenario dialog. Para pemeran acara tersebut hanya diberi tahu apa judul dan tokoh yang mereka perankan. Sedangkan untuk jalan ceritanya secara mendetail, para artisnya tidak tahu. Yang mengetahui konsep cerita secara mendetail adalah sang dalang, yang dalam hal ini ditampilkan oleh Parto. Sang dalang-lah yang mengendalikan jalannya cerita dan para tokohnya. Para artis hanya melakukan apa yang diperintahkan sang dalang. Dalam hal ini dibutuhkan kreatifitas yang cukup tinggi dari sang artis sehingga acara dapat berlangsung dengan menarik, lucu, menghibur, dan sesuai dengan konsep cerita.

Perbedaan yang lain adalah dalam setting panggung. Acara-acara seperti Srimulat, ketoprak humor, dan yang lain-lain, sering memberikan setting panggung yang standard-standard saja, seperti: meja, kursi, lemari. Demikian halnya dalam penampilan para artisnya, mereka sering menampilkan artis dengan kostum yang standard-standard saja. Berbeda halnya dengan acara OVJ. Dalam hal setting panggung, mereka memiliki beberapa tim kreatif yang bertugas menyusun, merancang, dan membuat setting panggung yang menarik, unik, dan tentunya sesuai dengan konsep cerita yang diangkat. Juga dalam hal kostum, acara OVJ juga memiliki tim yang bertugas secara khusus merancang dan membuat kostum bagi para artis sesuai dengan cerita yang diangkat.

Selain itu, masih ada satu keunikan lagi yang dapat dilihat dari acara OVJ ini. Keunikan tersebut adalah dalam hal perlakuan para artis terhadap barang-barang yang digunakan sebagai setting panggung. Para artis diberi kebebasan oleh konseptor acara untuk memukulkan, bahkan merusak settingan panggung. Tentu saja barang yang dirusak dan dipukulkan kepada artis lain tidaklah bertujuan untuk melukai orang lain. Bahan-bahan yang dipakai untuk settingan panggung adalah bahan-bahan yang terbuat dari stereoform atau dalam kehidupan sehari-hari dikenal dengan istilah gabus. Inilah keunikan acara OVJ dibandingkan acara-acara humor lainnya yang ada di Indonesia.

Jika kita melihat kehidupan kita sehari-hari, kita melihat bagaimana hidup manusia itu sadar atau tidak sadar ternyata diatur oleh suatu sistem. Manusia seperti suatu robot yang dikendalikan oleh situasi yang ada. Tuntutan masyarakat, yang muncul dalam aturan, kebiasaan, prestasi hidup, apa yang dianggap sebagai bernilai, seolah-olah mengatur kehidupan seorang individu. Hidup yang monoton, keharusan untuk menjalani hidup seperti apa yang dituntut oleh masyarakat membuat orang kurang berani untuk berekspresi. Orang mengalami ketakutan untuk mencoba sesuatu yang baru, unik dan kreatif.

Sikap spontanitas para artis, baik dalam hal berdialog, berakting, dan juga dalam kreatifitas untuk merusak settingan panggung, ini sangatlah menarik. Semuanya itu dilakukan para artis dengan tujuan untuk menciptakan suatu hiburan dan kelucuan yang baru dan segar. Cara para artis menghibur penonton, dan juga konsep acara OVJ yang unik ini menarik bagi saya untuk mendalami sisi filosofisnya. Dalam paper ini, saya berusaha untuk menganalisa acara OVJ ini dengan menggunakan kacamata Nietzsche dan aphorismenya. Ada suatu kebijaksanaan yang dapat diberikan melalui acara OVJ ini. Kebijaksanaan yang berusaha saya dalami dan gali melalui paper ini adalah mengenai realitas kehidupan. Kehidupan itu menjadi indah, unik, dan penuh kesegaran bila manusia menyadari akan spontanitas yang dapat mereka berikan bagi sesamanya.

Dari latar belakang permasalahan sebagaimana saya uraikan di atas, saya mencoba merumuskan suatu hipotesis untuk paper ini. Hipotesis yang saya berikan di bagian pendahuluan ini adalah: kehidupan itu menjadi lebih hidup dan menarik apabila kehidupan ini dijalani dengan spontanitas yang kreatif. Untuk menguji hipotesis tersebut, saya menggunakan teori Aphorisme dari seorang filsuf modern, yakni Nietzsche.

Riwayat Hidup Nietzche

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di kota Röcken pada tanggal 15 Oktober 1844.[1] Nietzsche dilahirkan dari pasangan suami isteri Carl Ludwig Nietzsche (1813–1849) dan Franziska Oehler (1826–1897). Ayah Nietzsche adalah seorang pendeta Lutheran. [2] Friedrich Wilhelm Nietzsche adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Adik-adiknya adalah Elisabeth Förster Nietzsche lahir pada tahun 1846 dan Ludwig Josep, lahir pada tahun 1848. Ayah Nietzsche meninggal pada tahun 1849 karena penyakit otak. Juga, Ludwig Josep, adiknya bungsu meninggal pada tahun 1850. Kemudian, keluarga tersebut pindah ke Naumburg, dimana mereka tinggal bersama keluarga nenek dari pihak ayah dan dua bibinya yang tidak menikah. Mereka tinggal di sana sampai kematian nenek mereka pada tahun 1856. Setelah itu, Friedrich Nietzsche dan keluarga pindah ke rumah mereka sendiri.

Selama masa pendidikannya pada periode tahun 1858 sampai 1864, Nietzsche memiliki waktu untuk belajar komposisi music dan puisi. Pada sekolahnya itu juga, Nietzsche menerima pengajaran mengenai kesusastraan, khususnya kesusastraan Yunani kuno dan Romawi. Setelah kelulusannya pada tahun 1864, Nietzsche memulai belajar teologi dan studi bahasa (philology) di Universitas Bonn. Akan tetapi, setelah menjalani pendidikan tersebut selama satu semester, Nietzsche berhenti kuliah teologi dan mulai kehilangan imannya. Kemudian Nietzsche fokus pada kuliah philology di bawah bimbingan Professor Friedrich Wilhelm Ritschl. Pada masa ini, kuliah dijalaninya di Universitas Leipzig pada tahun berikutnya, dan pada masa ini pula terbit karangan Nietzsche yang pertama dalam bidang philology.

Pada tahun 1865, Nietzsche mempelajari secara menyeluruh karya-karya Arthur Schopenhauer. Setelah membaca buku yang berjudul “Die Welt als Wille und Vorstellung”, mulai muncullah ketertarikan Nietzsche pada perkara-perkara filosofi. Pada tahun 1866, dia membaca karya Friedrich Albert Lange yang berjudul “History of Materialism”. Schopenhauer and Lange begitu mempengaruhi Nietzsche. Schopenhauer secara khusus berpengaruh pada perkembangan pemikiran Nietzsche pada masa-masa selanjutnya. Deskripsi Lange tentang filsafat anti materialistik dari Kant, kebangkitan jaman materialism di Eropa, perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa, teori Darwin, semuanya itu menggugah pemikiran Nietzsche. Lingkungan budaya yang demikian itu menyemangatinya untuk terus memperluas pengetahuannya dalam philology dan melanjutkan studinya dalam filsafat.[3]

Karir dan Karya Nietzsche

Pada tahun 1869-1879 Nietzsche memulai bekerja sebagai pengajar philology klasik pada Universitas Basel. Kemudian pada tahun 1870-1871, Nietzsche terlibat pada perang Perancis melawan Prusia. Nietzsche menjadi anggota pasukan Prusia sebagai tenaga medis. Perang ini menimbulkan suatu efek trauma dalam diri Nietzsche. Dia juga terkena penyakit dipteri dan disentri. Ada juga spekulasi yang mengatakan bahwa Nietzsche juga terkena penyakit sifilis pada masa ini.[4]

Setelah kembali ke Basel pada tahun 1870, Nietzsche mengamati pendirian kekaisaran Jerman pada era Otto Von Bismarck. Di universitas ini pula, dia menerbitkan tulisannya yang berjudul “Homer and Classical Philology”. Pada tahun 1872, Nietzsche mengeluarkan bukunya yang pertama, yakni berjudul “The Birth of Tragedy”. Akan tetapi, koleganya, dalam ilmu philology klasik, kurang memberikan penghargaan kepada Nietzsche atas terbitnya buku ini. Kemudian di saat-saat selanjutnya, Nietzsche juga mengalami hambatan dalam komunitas philology. Ini disikapi Nietzsche dengan mencoba berkarir di bidang filsafat pada Universitas Basel, walau juga kurang sukses.[5] Pada periode tahun 1873-1876, Nietzsche menerbitkan 4 esai. Esai-esai tersebut memberikan suatu pemahaman mengenai kritis budaya, yakni mengenai tantangan dari perkembangan budaya Jerman. Esai ini dipengaruhi oleh pemikiran Schopenhauer and Wagner. Pada tahun 1873, Nietzsche memulai mengumpulan catatan-catatannya yang kemudian diterbitkan dengan judul “Philosophy in the Tragic Age of the Greeks”. Pada tahun 1876, Nietzsche berteman dengan Paul Ree, yang mempengaruhinya dalam membebaskan sikap pesimistis yang nampak dalam tulisan-tulisan awalnya.

Pada tahun 1878, Nietzsche menerbitkan buku berjudul “Human, All Too Human”. Buu ini menunjukkan reaksi Nietzsche melawan sikap filsafat pesimistis yang diajarkan oleh Wagner dan Schopenhauer. Pada tahun 1879, setelah terjadi penurunan secara signifikan atas kondisi kesehatannya, Nietzsche mengundurkan diri dari posisinya sebagai pengajar di Universitas Basel.

Periode besar yang kedua dalam hidup Nietzsche adalah periode tahun 1879-1889.[6] Dikarenakan penyakit yang dideritanya, Nietzsche berusaha mencari tempat yang memiliki iklim yang cocok dengan kondisi kesehatannya. Dia melakukan banyak perjalanan dan hidup sebagai pengarang lepas pada berbagai kota. Nietzsche menghabiskan waktunya pada musim panas di kota Sils Maria di negara Swiss. Pada musim dingin, Nietzsche berada di kota-kota di Italia, antara lain Genoa, Rapallo, dan Turin. Pada tahun 1881, Nietzsche juga merencanakan untuk berkunjung ke Tunisia. Tujuannya adalah dia ingin mengamati eropa dari luar. Akan tetapi, rencana ini dibatalkan. Kemungkinannya adalah karena factor kesehatan yang kurang mendukung.

Setelah menerbitkan buku berjudul “Human, All Too Humanpada tahun 1878, Nietzsche menjadi aktif dalam menerbitkan buku-buku sampai tahun 1888. Tahun 1888 merupakan tahun akhir penulisan bukunya.

Tragedi

Hidup Nietzsche penuh dengan tragedi. Sejak masa kecilnya, banyak penderitaan yang dialaminya. Mulai dari meninggalnya sang ayah pada usianya yang dini, kemudian disusul dengan berbagai macam penyakit pada tubuhnya. Banyak penyakit pernah diderita oleh Nietzsche, antara lain gangguan pada mata yang hampir menyebabkan kebutaan, migren, dan ketidakmampuan pada pencernaan untuk menerima makanan keras. Gangguan pada kesehatan terus dialami pada masa dewasanya. Pada tahun 1868, dia mengalami kecelakaan, dan juga pada tahun 1870 mengalami penyakit yang lumayan berat.

Pada bulan januari 1889, Nietzsche mengalami penyakit mental yang berat. Dia menjadi gila.[7] Kegilaan Nietzsche nampak dari tindakan-tindakan yang dilakukan. Dia menulis surat kepada teman-temannya dengan menggunakan berbagai macam identitas, misalnya: Yang Tersalib, Ferdinand de Lesseps, dan lain sebagainya.[8] Kegilaan ini berlangsung sampai meninggalnya pada tanggal 25 Agustus 1900.

Aphorisme dan Filsafat Nietzsche

Karya dan pemikiran Nietzsche sebagian besar tidak disusun dalam sesuatu yang sistematis. Pemikiran-pemikirannya dibuat dalam bentuk aphorisme. Aphorisme berasal dari kata yunani aphorismos. Aphorisme adalah suatu pemikiran yang asli, apa adanya, yang diucapkan atau ditulis dengan singkat atau pendek-pendek yang mudah diingat.

Nietzsche menyukai metode aphorisme. Tulisan dan pemikirannya dituangkan berupa kalimat-kalimat pendek. Ada satu kesulitan yang ditimbulkan dalam pemikiran Nietzsche ini. Menurut Budi Hardiman, yang sangat sulit adalah mengerti maksud atau arti dari kalimat-kalimat tersebut. Budi Hardiman mengatakan: “Tulisan-tulisannya bukan hanya tidak membentuk sistem, melainkan juga mengandung pertentangan satu sama lain. Pemakaian aphorisme erat kaitannya dengan penolakan Nietzsche terhadap sistem”.[9] Bagi Nietzsche, sistem membuat moral para filsuf menjadi merosot. Sistem membuat filsuf menjadi bodoh. Bagi Nietzsche, kebenaran mustahil dikemas dalam suatu sistem.[10] Pemberontakan Nietzsche terhadap sistem ini juga tampak dari tulisannya yang dikutip oleh Franz Magnis: “Aku bukan manusia, aku dinamit..Aku menentang sebagaimana belum pernah ada yang menentang.[11] Walaupun pemikirannya dalam bentuk yang tidak sistematik dan merupakan suatu pertentangan akan sistem, pemikiran Nietzsche tetaplah sangat berpengaruh dan memberikan banyak inspirasi yang positif bagi kehidupan.

Ada beberapa ciri aphorisme, yaitu: kreatif, agresif, paragraph-paragraf pendek, tidak terkait satu sama lain, tidak ada sistematika. Para penganut aphorisme memandang realitas sebagai sesuatu yang terbuka. Realitas itu tidak terbatas. Mereka juga mencintai daya-daya kehidupan. Nietzsche mengambil bentuk aphorisme ini juga karena pengaruh tragedi-tragedi yang terjadi dalam hidupnya. Tragedi-tragedi dalam kehidupannya dapat dimanfaatkannya menjadi sesuatu yang positif bagi perkembangan pemikiran filsafat. Dikatakan oleh Nietzsche demikian: “..bahwa periode panjang kesakitan terasa bagiku kini..aku menemukan hidup seolah ia sesuatu yang baru.[12] Banyak hal baru diberikan Nietzsche sebagai hasil pengaruh pemikirannya.

Nietzsche dan Opera Van Java

Tayangan “Opera Van Java”, yang akhir-akhir ini sering muncul di sebuah televisi swasta Indonesia, tentulah tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Acaranya cukup menghibur. Kelucuan yang ditampilkan oleh para artis pendukung acara ini sangat bervariatif. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau acara ini begitu disenangi masyarakat. Walaupun hampir tiap hari ditayangkan orang tidaklah bosan dengan acara tersebut. Kreatifitas para pendukung acaranya seperti tidak ada habis-habisnya. Selalu ada ide cerita yang baru dan layak untuk disajikan kepada pemirsanya.

Dalam kacamata Nietzsche, konsep acara OVJ ini hampir sama dengan metode aphorisme yang dianutnya. Apabila acara-acara hiburan yang lain menggunakan konsep yang terstruktur rapi dalam dialognya, maka OVJ tidak mau seperti itu. Para pendukung acara ini mencoba suatu cara yang baru. Para artisnya tidak diberi naskah dialog untuk dihapal. Mereka hanya diberitahu apa cerita yang mau dibawakan. Lalu, dengan bantuan seorang dalang, para artisnya akan dituntun mengenai apa yang harus dilakukan. Dalam hal ini, dituntut suatu kreatifitas dan orisinalitas sang artis untuk mengucapkan dialog yang menarik, lucu, dan menghibur. Spontanitas sangat dituntut dari para artisnya.

Dari tayangan OVJ ini, saya mencoba merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana banyak orang merasakan dalam kehidupannya, manusia terbiasa hidup dalam suatu sistem. Dari manusia lahir sampai mati, mereka tidak bisa terlepas dari apa yang dinamakan sistem. Sadar atau tidak sadar, sistem tersebut sudah melekat pada diri manusia. Nilai-nilai kehidupan, ukuran kesuksesan, apa itu yang berharga, bagaimana manusia hidup, dan lain sebagainya merupakan sistem-sistem yang mengatur hidup manusia. Manusia tidak bisa menjadi dirinya sendiri yang otentik. Hidup seseorang seolah-olah diatur oleh masyarakat. Ini dirumuskan oleh Nietzsche demikian: “Realitas telah dirampas nilainya, maknanya, kejujurannya..[13]

Dalam bidang pendidikan, orang digiring untuk merasa nyaman dan aman bila bersekolah dalam sekolah formal. Mulai dari playgroup, TK, SD, SMP, SMA, lalu masuk perguruan tinggi. Orang tidak lagi merefleksikan apa yang menjadi minat dan tujuan hidupnya. Untuk sebagian orang memang jalur pendidikan seperti itu cukup tepat. Akan tetapi, kita harus merenungkan secara lebih mendalam, bagaimana dengan orang yang kurang cocok untuk pendidikan formal semacam itu. Banyak orang kurang bisa belajar pelajaran-pelajaran formal. Mereka ini bisa lebih nyaman bila diberikan pendidikan yang model praktek kerja. Juga tidak menutup kemungkinan orang belajar dari jalur-jalur non-formal, misalnya melalui televisi, internet, koran, dan lain sebagainya. Juga melalui magang kerja orang bisa belajar sesuatu yang berharga dan berguna bagi hidupnya.

Dalam hal pilihan hidup, sistem dalam masyarakat menganggap normal bila orang yang sudah dewasa untuk menikah. Apabila ada orang yang sudah mencapai umur yang matang tapi masih belum menikah, banyak yang memberi cap negatif pada mereka ini. Bisa jadi pilihan orang untuk tidak menikah karena mereka lebih nyaman hidup sebagai seorang yang single. Tapi, masyarakat umum masih menganggap sikap dan pilihan hidup untuk tidak berkeluarga adalah sesuatu yang aneh. Ini adalah suatu pilihan. Masyarakat harus mau menyadari dan menghargai akan pilihan hidup seseorang. Justru dengan mereka hidup single, mereka bisa merasa nyaman dalam menjalani kehidupan mereka. Ketika mereka nyaman dalam menjalani hidup mereka, mereka bisa lebih produktif dan lebih banyak memberikan sumbangan bagi masyarakat dunia ini. Ini bukan berarti menyepelekan pilihan hidup orang untuk berkeluarga. Tapi, yang mau saya tekankan adalah pada penghargaan atau apresiasi atas pilihan hidup seseorang untuk hidup tidak berkeluarga.

Dalam hal pekerjaan, banyak orang yang mengejar suatu kemapanan dalam pekerjaan. Pekerjaan tetap, karir tinggi, bekerja dari senin-sabtu, bahkan kalau bisa hari minggu juga bekerja. Hidup untuk mengejar uang dan kekayaan. Bila direnungkan lagi, hidup demikian sebenarnya sangatlah monoton. Hidup menjadi hambar dan kosong. Apa artinya hidup kalau hanya untuk itu. Pagi berangkat kerja, pulang larut malam. Orang yang demikian tidak dapat menikmati hidup ini. Hidup hanya dihabiskan untuk mengejar kekayaan dan prestasi belaka. Ada banyak hal yang berharga dalam hidup ini. Hidup bukan untuk uang saja. Hidup manusia pada dirinya sendiri sudah berharga. Banyak hal yang menarik dan berharga untuk dilakukan. Bagi mereka yang memiliki teman dan sahabat dekat, mereka dapat memberikan waktu untuk mau ngobrol dan hadir bersama sahabat-sahabat mereka. Bagi mereka yang memiliki keluarga, misalnya ayah, ibu, anak, istri, dan saudara-saudara kandung, mereka dapat memberikan waktu untuk hadir bersama keluarganya.

Be yourself merupakan semboyan yang kritis dan filosofis. Jadilah dirimu sendiri. Sebagaimana dikatakan Nietzsche dalam bukunya: “Aku adalah begini dan begitu. Janganlah, di atas segalanya, mengaburkan aku dengan apa yang bukan diriku![14] Kehidupan manusia sungguh-sungguh dapat dikatakan hidup apabila tiap-tiap individu menyadari akan hal ini. Hidup manusia itu unik, menarik. Dalam kebebasan dan kreatifitasnya masing-masing, orang dapat memberi corak kehidupan bagi dunia ini. Seperti halnya pandangan Nietzsche mengenai suatu sistem, apabila kehidupan ini dijalani sesuai dengan sistem yang ada, maka nilai-nilai dalam kehidupan menjadi merosot. Sistem membuat masyarakat menjadi bodoh dan tidak kreatif. Orang hanya bersikap pasif dan menjalani hidupnya seperti suatu robot. Beranilah tampil beda. Perbedaan ini akan membuat kehidupan menjadi penuh warna dan hidup.

Hidup secara kreatif. Tidak perlu takut dengan sistem pemikiran yang ada dalam masyarakat. Ini sebagaimana ditulis oleh Nietzsche: “…orang yang menghancurkan sekumpulan nilai-nilai, para penghancur ini,…dia adalah seorang yang kreatif..[15]. Gali dan kembangkan segala potensi yang ada dalam tiap diri seseorang. Ciptakan ide-ide baru dalam kehidupan ini. Berani membuat pilihan-pilihan hidup yang baru dan tidak memaksakan suatu sistem kepada orang lain. Nikmatilah hidup. Banyak keindahan yang bisa dihasilkan dari kreatifitas semacam ini. Nietzsche menyadari hal ini. Ini tampak dalam tulisannya: “..aku menoleh ke belakangku, aku menatap ke hadapanku, belum pernah sebelumnya kulihat hal-hal yang begitu banyak dan begitu baik bersama-sama..[16] Jangan sampai kita tertipu oleh buaian-buaian semu yang dibuat oleh sistem dalam masyarakat. Dengan itu semua, maka kehidupan ini bisa menjadi lebih indah, kreatif, menarik, dan sungguh-sungguh menjadi hidup.

Kesimpulan

Berani tampil beda dan menjadi diri sendiri, merupakan sesuatu yang harus disadari dan diperjuangkan oleh masyarakat sekarang ini. Sebagaimana ditunjukkan dalam tayangan OVJ, dan juga melalui pemikiran aphorisme dari Nietzsche, kita bisa merasakan hasilnya. Banyak hal bisa diberikan dari kesadaran demikian ini. Hidup menjadi lebih penuh warna dan menarik. Orang juga bisa menikmati kehidupan ini dengan sepenuhnya. Sehingga, orang tidak lagi hidup dengan penuh tekanan-tekanan. Tekanan-tekanan yang didapat orang juga tidak terlepas dari sistem-sistem yang dibuat oleh masyarakat. Padahal, sistem-sistem tersebut merupakan hal yang semu dan mengaburkan orang akan realitas kehidupan. Orang tidak lagi menyadari keindahan dalam kehidupan ini.

Dari analisa dan pembahasan ini, saya akan menarik kesimpulan dari hipotesis awal yang saya berikan. Hipotesis awal saya adalah: kehidupan itu menjadi lebih hidup dan menarik apabila kehidupan ini dijalani dengan spontanitas yang kreatif. Dan dari analisa permasalahan dalam pandangan Nietzsche, saya menyimpulkan bahwa: kehidupan itu menjadi lebih hidup dan menarik apabila kehidupan ini dijalani dengan spontanitas yang kreatif.

Tanggapan Kritis

Dalam bagian akhir paper ini, saya akan memberikan tanggapan kritis saya mengenai penerapan pemikiran saya di atas dalam kehidupan sehari-hari. Berani tampil beda dan menjadi diri sendiri memang merupakan suatu impian dalam diri kita masing-masing supaya kehidupan kita menjadi lebih bermakna. Akan tetapi, dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat, kita memiliki peraturan dan norma-norma yang tidak bisa dihindari. Memang terkadang peraturan tersebut terlalu mengatur dan mengarahkan kehidupan kita, sehingga kita tidak dapat menjadi bebas dan tidak dapat mengembangkan diri kita secara maksimal. Tetapi, di sisi lain, peraturan dan norma tersebut juga memberikan sesuatu yang positif bagi kehidupan manusia.

Hal positif tersebut adalah dalam hal pengalaman. Ketika seseorang menjalani kehidupannya pada saat sekarang ini, dia dapat melihat pengalaman dari orang yang hidup lebih dahulu sebelum dirinya. Dengan demikian, orang tersebut tidak mengulangi kesalahan yang sama sebagaimana telah dilakukan oleh orang lain. Dengan melihat pengalaman orang lain, yang seringkali terbentuk dalam norma-norma, kebiasaan-kebiasanaan, dan juga peraturan, seseorang bisa bertumbuh dengan lebih baik dan bisa memikirkan hal lain yang lebih baru dan lebih berguna baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Daftar Pustaka

clip_image001 Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.

clip_image001[1] Magnis, Franz, 13 Tokoh Etika, Kanisius, Yogyakarta, 1997.

clip_image001[2] Nietzsche, Friedrich, Ecce Homo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.

clip_image001[3] Nietzsche, Friedrich, Thus Spoke Zarathustra, Cambridge University Press, Cambridge, 2006.

Sumber Internet

clip_image001[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche diunduh pada tanggal 29 Oktober 2010, pada pk. 18.36

clip_image001[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche diunduh pada tanggal 29 Oktober 2010, pada pk. 18.36.


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche diunduh pada tanggal 29 Oktober 2010, pada pk. 18.36.

[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche diunduh pada tanggal 29 Oktober 2010, pada pk. 18.36

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal 260.

[8] Ibid, hal 261.

[9] Ibid, hal 261

[10] Ibid, hal 262

[11] Magnis, Franz, 13 Tokoh Etika, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal 195.

[12] Nietzsche, Friedrich, Ecce Homo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal 13.

[13] Ibid, hal 3.

[14] Ibid, hal 3.

[15] Nietzsche, Friedrich, Thus Spoke Zarathustra, Cambridge University Press, Cambridge, 2006, hal 9.

[16] Nietzsche, Friedrich, Ecce Homo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000,, hal 8.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Opera Van Java dan Filsafat Nietzsche”

  1. Pak Reza, saya penggemar Nietzsche, saya sedang mengikuti jalan pikiran nya, Menurut saya dia sangat brilian dan berani, saya mungkin menjadi salah satu pengikutnya. Bagaimana pendapat bapak?

    Suka

  2. Ya pak, kebenaran itu bukan milik seseorang, kebenaran itu pencarian tak ada ujung…. jika kamu ingin kebahagiaan , percayalah , jika kamu ingin kebenaran , carilah…

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.