Indonesia, Nasionalisme, dan Ingatan Kolektif

Technorati Tags: Indonesia,ingatan kolektif,ingatan sosial,krisis nasionalisme,nasionalisme

nationalism_20100901083816
Google Images

Mengembangkan Nasionalisme Indonesia

melalui Penegasan Ingatan Kolektif

“Setiap bangsa merasa lebih hebat dari bangsa lainnya.

Hal ini melahirkan patriotisme – dan perang.”

Dale Carnegie

Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat

Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya

Abstract

The crisis of nationalism has been part of many social problems faced by Indonesian people. From the theoretical perspective, the sign of crisis of nationalism in Indonesia can be seen in the absent of political movement and public will to achieve the purpose of nation, as it written in the Indonesian constitution. In this paper, I want to argue that the crisis of nationalism can be stop, if we can create a strong social identity based on the meaningful collective memory. This paper will analyze the concept of nationalism according to Ernst Gellner and Wayne Norman, and then try to see the relation between nationalism and collective memory as it understood it the terms of Maurice Halbwachs’s thinking. The discussion will also try to apply the relevant points into the context of Indonesian society.

Secara umum nasionalisme sering diartikan sebagai rasa cinta pada tanah air. Konsekuensi dari pengertian umum ini adalah, bahwa krisis nasionalisme di Indonesia dapat dilihat dari beragam perilaku, baik pejabat negara, militer, ataupun sipil, yang menunjukan hilangnya rasa cinta pada bangsanya. Kita bisa menderet bentuk-bentuk perilaku tersebut, mulai dari kriminalitas kecil, buang sampah sembarangan, tidak mematuhi peraturan lalu lintas, sampai dengan korupsi yang melibatkan dana trilyunan rupiah. Definisi ini tidak sepenuhnya benar. Nasionalisme juga melibatkan ikatan dan gerakan politik kolektif untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Krisis nasionalisme di Indonesia juga dapat dipahami dengan dua kerangka berpikir tersebut, yakni hilangnya rasa cinta pada tanah air, sekaligus minimnya gerakan sosial kolektif untuk mewujudkan cita-cita dasar bangsa.

Argumen yang ingin saya ajukan di dalam tulisan ini adalah, bahwa nasionalisme bangsa Indonesia dapat dikembangkan dengan terlebih dahulu menegaskan identitas sosial, dan itu hanya dapat diperoleh melalui penegasan ingatan kolektif. Setidaknya ada dua pertanyaan yang dapat dirumuskan untuk menjelaskan argumen tersebut, yakni apakah relasi antara ingatan kolektif tersebut dengan pembentukan identitas sosial dan pengembangan nasionalisme sebuah bangsa? Dan apa relevansi diskusi tentang ingatan kolektif, identitas sosial, dan nasionalisme tersebut bagi Indonesia?

Untuk menjelaskan argumen di atas, dan menjawab dua pertanyaan yang saling terkait tersebut, saya akan membagi tulisan ini ke dalam empat bagian. Awalnya saya akan menjelaskan makna dari konsep nasionalisme dengan mengacu pada pemikiran Wayne Norman dan Ernst Gellner, dan situasi krisis nasionalisme yang dialami oleh bangsa Indonesia (1). Kemudian saya akan menjelaskan konsep ingatan kolektif dan pengaruhnya pada pembentukan identitas sosial dengan berpijak pada teori Maurice Halbwachs (2). Pada bagian berikutnya saya akan mencoba menjelaskan argumen, bahwa penegasan ingatan kolektif, yang juga berarti penegasan identitas sosial, dapat memberikan pengaruh positif pada pengembangan nasionalisme di Indonesia (3). Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan (4).

1.Nasionalisme, Negara, dan Bangsa

Di dalam buku Oxford Reader on Nationalism, Hutchinson dan Smith menyatakan dengan tegas, bahwa diskusi seputar problem bangsa dan nasionalisme berpusat pada upaya untuk secara tepat dan memadai merumuskan makna dan bangsa (nations) dan nasionalisme (nationalism) itu sendiri.[1] Menurut Norman ada beberapa pengertian dasar dari bangsa yang telah disepakati oleh para ahli ilmu politik dan filsuf politik. Pertama, bangsa adalah salah satu jenis dari komunitas kehidupan manusia. Kedua, komunitas kehidupan tersebut memiliki tempat, cerita rakyat, sejarah, dan bahasa yang dipahami serta dihayati bersama. Ketiga, bangsa tidak selalu identik dengan negara. Walaupun dalam kenyataan banyak bangsa yang mendirikan satu negara yang sama. Namun dalam era globalisasi sekarang ini, lebih banyak ditemukan satu negara yang memiliki banyak bangsa.

Menurut John Stuart Mill, Ernst Renan, dan Weber –sebagaimana diteliti oleh Norman-, bangsa adalah komunitas yang dibayangkan. Bangsa juga adalah komunitas yang terdiri dari sentimen-sentimen warganya. Suatu komunitas layak disebut sebagai bangsa, menurut Norman, jika warganya percaya dan merasa diri mereka sebagai satu bangsa. Kepercayaan ini kemudian diikuti lahirnya komunitas kritis di dalam komunitas umum tersebut, yang nantinya akan memutuskan untuk mendirikan pemerintahan yang otonom (self-govern).

Gellner –sebagaimana dikutip oleh Norman- pernah mendefinisikan bangsa sebagai artifak fisik sekaligus mental yang melambangkan keyakinan, kesetiaan, dan solidaritas dari sekelompok manusia. Definisi ini begitu luas, sehingga menimbulkan pertanyaan lebih jauh. Misalnya faktor-faktor apa yang menciptakan keyakinan, kesetiaan, dan solidaritas bersama tersebut? Apakah ada beragam tipe bangsa, seperti bangsa yang terdiri dari suku bangsa, atau bangsa yang terdiri dari banyak suku, namun hidup dalam aturan legal yang telah disepakati bersama? Jika ya bagaimana penjelasannya?[2]

Menjawab problematik tersebut ada satu pengandaian yang perlu dipegang teguh, bahwa sebuah komunitas baru layak disebut sebagai sebuah bangsa, jika ada sebagian besar orang di dalam kelompok tersebut yang yakin akan perlunya penentuan diri sendiri sebagai sebuah komunitas (self-determination). Inilah yang disebut banyak filsuf politik sebagai proyek nasionalisme, yakni proyek sebuah komunitas untuk menjadikan dirinya otonom. Yang juga perlu diingat adalah kaitan antara konsep bangsa dan nasionalisme. Keduanya saling terkait.

Konsep bangsa hanya bermakna, jika ada sekumpulan orang yang mengikatkan dirinya. Tindak mengikatkan diri itu adalah bagian dari ekspresi nasionalisme. Dan sebaliknya nasionalisme hanya dapat bermakna, jika bangsa sudah diandaikan ada, walaupun masih sebagai suatu proyek yang perlu diperjuangkan. Walaupun seperti yang ditulis oleh Norman, konsep nasionalisme jauh lebih rumit daripada konsep bangsa itu sendiri. Secara sederhana bangsa adalah substansi sosial yang memiliki soliditasnya sendiri. Substansi sosial itu seperti yang sudah disebutkan adalah komunitas manusia.

Sementara itu menurut Norman, konsep nasionalisme memiliki banyak aspek yang dinamis, seperti persepsi, entitas abstrak, keadaan mental, ingatan, dan proses. Norman melihat setidaknya lima pengertian dasar dari nasionalisme.Pertama, nasionalisme adalah suatu proses untuk membentuk dan mempertahankan keberadaan sebuah bangsa.Kedua, nasionalisme adalah sebentuk kesadaran individu sebagai bagian dari sebuah bangsa. Di dalam kesadaran itu terkandung perasaan dan harapan tentang keamanan maupun kemakmuran bangsa tersebut.

Ketiga, nasionalisme adalah bahasa sekaligus simbol dari sebuah bangsa dan perannya bagi masyarakat. Keempat, nasionalisme adalah sebuah ideologi. Di dalamnya terkandung ajaran dasar dari sebuah bangsa, termasuk prinsip-prinsip moral untuk hidup bersama secara harmonis, dan ajaran-ajaran spiritual. Kelima, nasionalisme adalah suatu gerakan politis yang bertujuan untuk mewujudkan aspirasi dasar sebuah bangsa. Dengan kata lain menurut Norman, nasionalisme adalah suatu proses yang berpijak pada sentimen identitas individu yang ada di dalamnya, guna membentuk suatu komunitas politis yang berpijak pada prinsip-prinsip tertentu.

Salah seorang pemikir teori nasionalisme, Moore, pernah berpendapat, bahwa nasionalisme adalah teori normatif tentang bagaimana seharusnya individu sebagai bagian dari bangsa bersikap. Dengan kata lain nasionalisme adalah suatu aspirasi yang memang belum terwujud di dalam kenyataan. Lepas dari begitu banyak perdebatan yang ada, nasionalisme setidaknya mengandung tiga elemen penting, yakni suatu ideologi (ajaran dasar yang sekaligus material dan spiritual), gerakan politis, dan identitas.

Untuk memperoleh pemahaman tentang nasionalisme, menurut Norman, kita tidak boleh terjebak pada pertanyaan, apa yang dimaksud nasionalisme. Melainkan kita perlu merumuskan suatu teori normatif tentang nasionalisme. Dan jawaban atas pertanyaan itu sebenarnya sudah jelas. Teori normatif tentang nasionalisme selalu melibatkan hakekat dari identitas nasional (1), upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan identitas nasional tersebut (2), ideologi yang berfungsi sebagai prinsip dasar untuk mempertahankan dan mengembangkan identitas nasional (3), dan ajaran moral yang digunakan untuk membenarkan semua usaha ini (4).[3]

Gellner lebih jauh juga pernah berpendapat, bahwa nasionalisme adalah suatu prinsip politis yang mengikat sebuah bangsa secara koheren. Namun menurut Norman definisi semacam ini tidaklah mencukupi. Nasionalisme adalah fakta sejarah yang sudah ada jauh sebelum keberadaan bangsa itu sendiri. Nasionalisme adalah suatu hasrat yang liar, yang tidak hanya berfokus untuk mengikat komunitas secara koheren. Hasrat liar semacam itulah yang kemudian membeku menjadi sebuah ideologi. Bahkan dapat dikatakan nasionalisme adalah ideologi yang paling dominan di dunia pada awal dan pertengahan abad kedua puluh. Nasionalisme tersebut bersanding dengan ideologi-ideologi besar lainnya, seperti kapitalisme dan marxisme. Namun pada akarnya nasionalisme tetap memiliki peran yang utama.

Walaupun dominan pada awal dan pertengahan abad keduapuluh, konsep nasionalisme tetap miskin dalam kajian ilmiah. Beragam teori nasionalisme saling bertentangan satu sama lain. Tidak ada rumusan yang cukup koheren untuk menjelaskan makna konsep tersebut. Dengan kata lain menurut Norman, nasionalisme tidak pernah menghasilkan suatu teori dominan dari tangan seorang filsuf besar. Muncul kesan bahwa nasionalisme telah menjadi tema penelitian yang diabaikan.

Kesan itu rupanya tidak sepenuhnya benar. Berbagai upaya tetap dilakukan untuk memahami makna nasionalisme, walaupun tertatih. Menurut Ben Anderson –salah seorang pakar teoritis tentang bangsa- kata nasionalisme, walaupun memiliki isme, tidak berarti merupakan sebuah ideologi. Bahkan menurutnya –sebagaimana dikutip oleh Norman- nasionalisme lebih dekat pada konsep keluarga dan agama, daripada konsep kapitalisme ataupun marxisme, yang merupakan ideologi-ideologi besar pada jamannya.

Lepas dari kemiripannya dengan agama dan keluarga, pada hemat saya, nasionalisme tetap merupakan sebuah ideologi. Dan seperti yang pernah ditegaskan oleh Gellner, nasionalisme adalah suatu prinsip politis yang mengikat negara dan bangsa secara kongruen.[4] Nasionalisme memiliki aspek sentimen (perasaan) sekaligus terbentuk menjadi gerakan sosial. Dari dua hal ini dapatlah disimpulkan, menurut Gellner, bahwa nasionalisme adalah sebuah prinsip. Perasaan -sebagai bagian dari nasionalisme- akan berubah menjadi kemarahan, jika prinsip tersebut dihina atau dilanggar. Dan sebaliknya perasaan nasionalisme akan berubah menjadi kepuasan, jika prinsip itu dijalankan secara konsisten. Gerakan nasionalisme –menurut Gellner- bergerak dalam pola kepuasan (satisfaction) dan kemarahan (anger) semacam ini.

Ada banyak cara menyulut kemarahan nasionalisme. Salah satunya adalah dengan memilih seorang pemimpin yang memiliki latar belakang berbeda dengan mayoritas kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat. Menurut Gellner hal ini akan menyulut terjadinya konflik politis yang besar. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa nasionalisme adalah teori tentang legitimasi politis. Seorang pemimpin akan mendapatkan legitimasi penuh dari rakyatnya, jika ia mampu mengaitkan dirinya dengan kepuasan nasionalisme rakyatnya, terutama dengan memberikan kesan, bahwa ia adalah bagian integral dari mereka.

Gellner juga berpendapat bahwa nasionalisme bukanlah sesuatu yang melulu rasional. Ada nuansa narsistik dan egoistik di dalamnya. Inilah yang dengan mudah ditemukan pada rezim fasis Mussolini di Italia pada masa perang dunia kedua. Lebih jauh juga ditemukan kecenderungan untuk menilai kelompok lain, tetapi memberi perkecualian pada kelompok sendiri. Semboyan right of wrong is my country menegaskan dengan jelas kecenderungan tersebut. Sebuah bangsa yang memiliki warga dengan nasionalisme tinggi cenderung menganggap semua tindakan bangsanya sebagai sesuatu yang benar. Dan sebaliknya kesalahan selalu ditimpakan pada kelompok atau bangsa lain.[5]

1.1 Negara

Konsep nasionalisme -menurut Gellner- juga terkait dengan konsep negara (state) dan bangsa (nation). Dalam arti ini negara, sebagaimana dipahami oleh Max Weber, dapat dipahami sebagai subyek di dalam negara yang memiliki keabsahan untuk melakukan kekerasan. Menurut Gellner definisi ini menjelaskan banyak hal. Di banyak tempat di dunia sekarang ini, penggunaan kekerasan oleh individu kepada individu lain tidak pernah dibenarkan. Penggunaan kekerasan secara individual adalah suatu pelanggaran terhdap hukum. “Kekerasan”, demikian Gellner, “hanya dapat diterapkan oleh otoritas politik pusat, dan mereka yang didelegasikan untuk itu.”[6] Ini adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kestabilan sosial. Otoritas politis untuk melaksanakan kekerasan yang sah ini (legitimate violence) haruslah tinggal dan dengan jelas dapat ditunjuk. Otoritas itulah –menurut Gellner- yang disebut sebagai negara (state).

Banyak negara berkembang dengan menggunakan pemahaman ini. Namun begitu menurut Gellner, tidak semua negara dalam sejarah menerapkan konsep ‘kekerasan yang sah’ ini. Negara-negara feodalistik pada abad pertengahan memperbolehkan pertempuran antar tuan tanah untuk mempertahankan hak-haknya. Hal ini diperbolehkan sejauh tidak membahayakan kepentingan negara secara keseluruhan, seperti menghancurkan fasilitas publik yang berakibat terganggunya situasi ekonomi masyarakat.

Gellner juga memberikan contoh lain. Pada masa perang dunia pertama, Irak, yang waktu itu dikuasai oleh Inggris, memperbolehkan penyerangan terhadap suku yang satu oleh suku lainnya. Syaratnya adalah sang suku penyerang melaporkan kepada polisi setempat sesaat sebelum dan sesudah penyerangan. Suku penyerang juga diharuskan memberikan upeti kepada polisi setempat. Dengan demikian ada beberapa negara yang tidak menjadi otoritas tunggal pengguna kekerasan. “Singkat kata”, tegas Gellner, “ada beberapa negara yang tidak memiliki sekaligus kehendak dan alat untuk memaksakan monopoli dari kekerasan yang sah, dan walaupun begitu tetap, dalam banyak hal, adalah negara yang dikenali.”[7]

Di sisi lain menurut Gellner, suatu negara juga harus memiliki pembagian kerja yang jelas. “Dimana tidak ada pembagian kerja”, demikian tulisnya, “orang tidak pernah bisa mulai berbicara tentang negara.”[8] Namun sebaliknya pembagian kerja tidak otomatis membuat suatu komunitas menjadi negara. Ada satu unsur tambahan yang membuat suatu komunitas menjadi negara, yakni fungsinya sebagai institusi yang memaksakan adanya tatanan yang teratur. Gellner memberikan contoh tentang keberadaan polisi dan pengadilan yang seolah terlepas dari masyarakat keseluruhan. Polisi dan pengadilan adalah representasi dari negara.

Di dalam pemaparannya tentang definisi negara dan nasionalisme, Gellner menyimpulkan, bahwa arti penting wacana nasionalisme tidaklah muncul di dalam lemahnya negara, melainkan sebaliknya, problem tentang nasionalisme muncul di dalam adanya negara. Namun itu pun tidaklah dialami oleh semua negara. Beberapa negara mengalaminya. Yang lain tidak. “Tidak berarti bahwa problematika nasionalisme muncul di dalam setiap negara,” demikian tulis Gellner, “sebaliknya, itu hanya muncul di beberapa negara.”[9]

1.2 Bangsa

Konsep nasionalisme juga mengandaikan pemahaman tertentu tentang bangsa. Sekarang ini menurut Gellner, kita sulit membayangkan adanya bangsa yang tidak memiliki institusi negara. Namun faktanya banyak negara sekarang ini lahir dari sekumpulan suku yang sebelumnya sudah hidup ratusan tahun. Suku-suku tersebut hidup dan berkembang, walaupun tidak membentuk sebuah negara. Seorang penulis Prancis yang bernama Chamisso pernah menulis, bahwa orang yang kehilangan bangsanya itu mirip dengan orang yang kehilangan bayangannya. Chamisso hidup di negara modern, di mana negara memberikan identitas kebangsaan pada warganya.[10]

Gellner lebih jauh melanjutkan, bahwa setiap orang harus memiliki bangsa. Keberadaan bangsa bagi manusia sama pentingnya seperti keberadaan hidung dan telinga. “Seseorang”, demikian tegas Gellner, “haruslah memiliki kebangsaan sama seperti ia harus mempunyai sebuah hidung dan dua telinga..”[11] Jika orang tidak memiliki bangsa, maka ia sebenarnya juga tidak memiliki identitas yang kokoh. Orang yang tidak memiliki identitas sama juga tidak memiliki jati diri. Ia merantau ke semua tempat, tetapi tidak menjadi bagian dari komunitas manapun. Kebutuhan akan bangsa inilah yang, menurut Gellner, menjadi dorongan dasar dari nasionalisme. “Memiliki sebuah bangsa”, demikian tulisnya, “bukanlah bagian inheren dari kemanusiaan, namun sekarang tampaknya sudah seperti itu.”[12]

Di satu sisi manusia tampak tidak bisa hidup tanpa bangsa. Namun di sisi lain, menurut Gellner, bangsa adalah suatu kontingensi, dan bukan kepastian universal. Di dalam sejarah manusia, berbagai bangsa tumbuh dan runtuh. Tidak ada bangsa yang berdiri selamanya. Hal yang sama berlaku, menurut Gellner, untuk negara. Tidak ada negara yang mampu bertahan selamanya. Sejarah menunjukkan beragam negara terbentuk dan runtuh dalam sungai waktu dan peristiwa. Walaupun begitu menurut Gellner, unsur dari bangsa berbeda dari negara. Keduanya memiliki aspek dan ciri kontingensi yang berbeda.

Nasionalisme adalah paham yang tumbuh, ketika negara dan bangsa mampu berdiri dan berkembang bersama. Pengandaian dasar nasionalisme adalah, bahwa negara tanpa bangsa tidaklah lengkap, dan sebaliknya. Bahkan menurut Gellner negara tanpa bangsa, dan sebaliknya, akan bermuara pada kehancuran masyarakat. Walaupun saling membutuhkan dan tidak terpisahkan, namun keduanya, yakni negara dan bangsa, tetaplah berbeda. Kemunculan dari kedua entitas tersebut juga tidak bersamaan. Menurut Gellner beberapa bangsa tumbuh dan berkembang tanpa adanya negara. Tidak hanya itu beberapa bangsa tumbuh justru dalam perlawanan dengan otoritas negara yang ada.[13]

Pada akhir bab satu bukunya, Gellner memberikan dua definisi yang menjelaskan makna dari konsep bangsa. Yang pertama, “dua orang berada dalam satu bangsa jika dan hanya jika mereka memiliki kultur yang sama.”[14] Dalam arti ini ia menegaskan, bahwa kultur adalah “sistem ide-ide dan tanda-tanda serta hubungan-hubungan yang merupakan cara orang berperilaku dan berkomunikasi.”[15] Pada hemat saya kultur juga dapat dipahami sebagai bentuk-bentuk kehidupan yang di dalamnya terdapat pola berpikir, pola perilaku, dan pola tindakan. Dan seperti yang ditulis oleh Gellner, jika pola berpikir, perilaku, dan tindakan dua orang memiliki kesamaan, maka dapat ditarik kesimpulan sementara, bahwa mereka memang berasal dari bangsa yang sama.

Yang kedua, menurut Gellner dua orang dapat disebut memiliki bangsa yang sama, jika mereka merasa dan mengakui, bahwa mereka berasal dari bangsa yang sama. “Dengan kata lain, bangsa yang menciptakan manusia; bangsa adalah artifak dari keyakinan, kesetiaan, dan solidaritas manusia.”[16] Bangsa adalah sebuah ikatan dan pengakuan (recognition). Dua orang bisa berasal dari satu bangsa yang sama, jika mereka merasakan adanya ikatan, dan mengakui ikatan tersebut di hadapan publik. Ikatan inilah yang -menurut Gellner- menjadi menjadi dasar dari bangsa. Dan seperti semua bentuk ikatan, ia sekaligus menyatukan yang sama, dan memisahkan dengan yang berbeda.

1.3 Krisis Nasionalisme

Seperti yang sudah diajukan oleh Norman, nasionalisme memiliki lima pengertian dasar, yakni sebagai proses membentuk sebuah bangsa, proses mempertahankan keberadaan sebuah bangsa, kesadaran sebagai bagian dari sebuah bangsa, simbol dari sebuah bangsa serta arti pentingnya bagi masyarakat, dan nasionalisme sebagai gerakan politis yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita dasar sebuah bangsa.[17] Dan seperti yang sudah diungkapkan Gellner, nasionalisme adalah perasaan sebagai bagian dari suatu bangsa yang di dalamnya mencakup kesetiaan dan solidaritas. Dasar dari sentimen-sentimen nasionalis itu adalah ikatan dan pengakuan.

Lima pengertian ini dan analisis Gellner tentang nasionalisme serta bangsa, menurut saya, sangatlah penting, terutama untuk memahami fenomena krisis nasionalisme yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Ada berbagai contoh empiris menipisnya rasa nasionalisme di Indonesia, mulai dari apatisme terhadap pemilu, ketidakpercayaan pada pemerintah, tindak korupsi para pejabat negara, miskinnya rasa penghargaan terhadap kelompok lain yang berbeda, pola konsumsi berlebihan yang melindas nilai-nilai kultural, dan fanatisme buta yang menjadikan agama ataupun elemen identitas lainnya sebagai amunisi. Analisis Norman dan Gellner sebelumnya dapat digunakan untuk memahami penyebab metafisis yang mendasari berbagai bentuk krisis nasionalisme tersebut.

Seperti diungkapkan oleh Norman, nasionalisme dapat dipahami sebagai proses membentuk sebuah bangsa. Ada nuansa aktif di dalam definisi ini. Melihat situasi nyata Indonesia sekarang ini, proses tersebut tidak lagi berjalan, atau bahkan mundur. Indonesia sebagai negara memang ada. Namun Indonesia sebagai bangsa, yang terdiri dari beragam suku, ras, dan agama, kini justru luntur, dan bahkan menghilang. Proyek Indonesia sudah berhenti diganti proyek korupsi para pejabat pusat maupun daerah, yang tidak diikuti oleh ketegasan politik para pemimpin negara. Proyek nasionalisme Indonesia sebagai proyek pembentukan bangsa kini tidak lagi berlangsung.

Norman juga mendefinisikan nasionalisme sebagai proses mempertahankan keberadaan sebuah bangsa. Juga dalam hal ini, Indonesia telah kehilangan taringnya. Perbatasan laut maupun darat Indonesia terancam oleh kekuatan asing. Banyak sumber daya kultural Indonesia juga dirampok oleh negara lain tanpa ada tantangan sedikitpun dari pemerintah. Itu masih hal yang konkret. Belum lagi yang sifatnya simbolik, seperti rasa cinta anak muda Indonesia pada bangsanya sendiri. Yang menjadi fokus dari anak muda, dan juga banyak orang tua, sekarang ini adalah mencari uang sebanyak-banyaknya. Pelestarian kultural dan identitas bangsa terbengkalai.

Pendidikan dan kesehatan jadi ladang bisnis. Orang miskin jarang sekali terjamah oleh kebijakan pemerintah. Proyek Indonesia sebagai bangsa, dan upaya mempertahankannya, tidak lagi terlihat. Dan seperti berulang kali dikatakan oleh B. Herry Priyono dalam berbagai diskusi dan tulisannya, Indonesia sebagai bangsa adalah proyek sampingan dan kebetulan saja dari upaya warganya untuk menumpuk kekayaan dan kemasyuran sebesar-besarnya. Definisi nasionalisme -sebagaimana ditulis Norman- sebagai upaya untuk mempertahankan keberadaan sebuah bangsa tidak pas untuk Indonesia. Dengan kata lain nasionalisme Indonesia sudah terkikis, dan terjatuh ke dalam krisis.

Nasionalisme adalah kesadaran pribadi warga negara yang merasa menjadi bagian dari suatu bangsa, demikian tulis Norman. Kesadaran tersebut terwujud di dalam perilaku hidup sehari-hari yang mencerminkan kecintaannya pada bangsa. Dari definisi ini krisis nasionalisme dapat dipahami sebagai tidak adanya kesadaran pribadi dari warga negara sebagai bagian integral dari suatu bangsa. Tepat inilah yang kiranya terjadi di Indonesia. Perilaku warga negara mulai dari masyarat luas sampai pejabat publik tidak mencerminkan kesadaran tersebut. Korupsi para pejabat negara dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi penyakit sosial yang dominan sekarang ini. Semua ini menunjukkan tidak adanya kesadaran warga negara yang merasa hidup bersama dalam suatu bangsa dan negara.

Berbagai simbol untuk menyatakan kecintaan pada bangsa juga semakin terkikis. Upacara dan berbagai tayangan media bernuansa kebangsaan dipandang sinis oleh masyarakat. Iklim apatisme dan sinisme terhadap pemerintah dan terhadap Indonesia sebagai bangsa mewabah di masyarakat luas. Krisis nasionalisme sebagai krisis simbol yang menyatukan beragam kelompok di bawah payung suatu bangsa terasa di berbagai tempat. Simbol-simbol nasionalisme menjadi terasa semu di Indonesia, karena rakyat tahu, bahwa para pemimpin bangsa tidak mencerminkan nilai-nilai nasionalis tersebut.

Di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dikatakan dengan jelas,[18] bahwa tujuan dari Negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berpijak pada kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Norman juga menegaskan bahwa nasionalisme dapat dipahami sebagai suatu gerakan sosial di dalam masyarakat yang hendak mewujudkan tujuan-tujuan dasar negara terkait. Dari sudut pandang ini, Indonesia dapat dikatakan mengalami krisis nasionalisme cukup dalam, karena sedikit sekali gerakan sosial yang tumbuh untuk mewujudkan cita-cita dasar negara Indonesia.

Banyak kelompok hidup hanya untuk mengabdi pada kepentingan tertentu, baik kepentingan politik partikular, seperti kepentingan partai untuk memperoleh kursi maupun jabatan publik, maupun kepentingan bisnis, seperti untuk meningkatkan citra suatu perusahaan di dalam upayanya mengeruk keuntungan finansial semaksimal mungkin, walaupun tanpa substansi. Tujuan dasar negara terbengkalai. Kebijakan publik dan politis tidak mengarah pada tujuan dasar tersebut, melainkan mengabdi pada kepentingan-kepentingan sesaat beberapa kelompok tertentu.

Dengan menggunakan analisis Gellner, kita juga bisa memahami krisis nasionalisme di Indonesia sebagai krisis ikatan dan solidaritas masyarakatnya. Gellner menegaskan bahwa nasionalisme adalah ikatan yang mengikat begitu banyak orang yang berasal dari beragam latar belakan untuk merasa sebagai bagian dari bangsa yang sama. Tidak hanya itu ikatan tersebut juga diakui secara publik, dan tidak diperlakukan sebagai rahasia. Di Indonesia sekarang ini, ikatan tersebut melemah. Banyak orang merasa bahwa walaupun mereka satu negara, tetapi tidak memiliki ikatan apapun yang lebih emosional. Akibatnya orang saling terisolasi satu sama lain. Di dalam isolasi prasangka dan kebencian semakin subur bertumbuh. Itulah awal dari konflik sosial.

Indonesia tengah dilanda krisis nasionalisme. Dengan menggunakan kerangka teori Norman dan Gellner, kita sudah dapat memetakan titik-titik krisis nasionalisme tersebut. Indonesia mengalami krisis di dalam proses pembentukan rasa kebangsaan. Indonesia mengalami krisis simbol-simbol yang memperkuat rasa persatuan. Warga negara Indonesia tidak merasakan lagi ikatan satu sama lain. Bahkan di luar negeri, banyak orang malu mengakui, bahwa mereka berasal dari Indonesia. Orang-orang cerdas di berbagai sektor memilih bekerja di luar negeri, karena mereka merasa tidak menemukan penghidupan yang layak ataupun pengakuan yang sah dari negara mereka sendiri. Inilah situasi Indonesia sekarang ini yang ditandai dengan krisis nasionalisme.

Pada tulisan ini saya ingin mengajukan argumen, bahwa akar dari krisis nasionalisme di Indonesia adalah lemahnya ingatan kolektifnya sebagai sebuah bangsa. Untuk meningkatkan rasa nasionalisme di antara warga negara, yang terwujud di dalam berbagai tindakan patriotis dalam skala kecil maupun besar, bangsa Indonesia perlu untuk melihat kembali sejarahnya dengan penuh harapan, lalu menafsirkannya untuk mengembangkan situasi sekarang. Inilah esensi dari penegasan ingatan kolektif. Namun apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ingatan kolektif? Pada bagian berikutnya saya akan menjelaskan makna konsep ingatan kolektif dengan mengacu pada pemikiran Maurice Halbwachs, sebagaimana ditafsirkan oleh Jean-Christophe Marcel dan Laurent Mucchielli.

2.Maurice Halbwachs dan Ingatan[19] Kolektif[20]

Maurice Halbwachs adalah seorang filsuf sosiolog yang tulisan-tulisannya menjadi acuan utama dalam refleksi tentang ingatan kolektif. Ia lahir pada 1877. Ia studi di Paris Ecole Normale Supérieure. Sekolah ini memang menghasilkan banyak pemikir hebat di dalam sejarah. Pada 1901 ia meraih agrégation dalam bidang filsafat, lalu menempuh studi doktoral di bidang hukum dan seni. Dalam hal pemikiran Halbwachs sangat dipengaruhi oleh Henri Bergson dan Emile Durkheim. Bergson sendiri memang pernah menjadi guru filsafat Halbwachs. Walaupun begitu Halbwachs nantinya memang akan mengambil jarak terhadap pemikiran-pemikiran Bergson, dan kemudian mengajukan kritiknya sendiri.

Halbwachs juga banyak terinspirasi dari tulisan-tulisan Emile Durkheim. Sejak saat itu Halbwachs lebih dikenal sebagai seorang sosiolog daripada sebagai seorang filsuf. Pada 1919 ia diangkat menjadi professor pada bidang sosiologi. Pada 1944 ia diangkat menjadi pengajar psikologi kolektif (collective psychology) di Collège de France. Bukunya yang berjudul La mémoire collective (selanjutnya menjadi Ingatan Kolektif) adalah karyanya yang terpenting di dalam bidang psikologi kolektif, terutama tentang konsep ingatan.

Psikologi kolektif sendiri memang merupakan suatu displin ilmu yang kurang populer, bahkan di dalam ilmu psikologi sendiri. Psikologi kolektif merupakan rumusan Halbwachs, ketika ia mulai mempelajari tulisan-tulisan Durkheim secara mendalam. Konsep dasarnya yang cukup khas adalah konsep kesadaran kolektif (collective consciousness). “Kesadaran kolektif”, demikian tulis Halbwachs sebagaimana dikutip oleh Marcel dan Mucchielli, “adalah realitas spiritual… tindakan dan perpanjangannya bisa mencapai seluruh bagian dari hati nurani manusia; pengaruhnya pada jiwa diukur dari pengaruhnya pada kehidupan yang memiliki fakultas lebih tinggi, yang adalah pikiran sosial.”[21]

Ilmu-ilmu manusia (humanities) dan filsafat tradisional cenderung memandang ingatan sebagai konsep yang sifatnya individual. Artinya hanya individulah yang bisa mengingat. Namun begitu menurut Halbwachs, isi dan cara individu mengingat jauh lebih dipengaruhi oleh realitas sosial, daripada oleh individu itu sendiri. Inilah pengandaian dasar psikologi kolektif yang dirumuskan oleh Halbwachs. Baginya untuk memahami motif, aspirasi, emosi, dan pengalaman-pengalaman subyektif manusia, orang harus mampu mengkaitkan aspek-aspek manusiawi itu dengan realitas sosial. Realitas sosiallah yang menjadi latar belakang sekaligus penentu isi dari kesadaran ataupun ingatan individual.

Menurut penelitian Marcel dan Mucchielli, ada tiga garis proyek filsafat Halbwachs. Yang pertama adalah menegaskan bentukan sosial dari ingatan individual (1.1). Yang kedua adalah proses ingatan kolektif dalam kelompok (1.2). Dan yang ketiga adalah dinamika ingatan kolektif dalam konteks kota dan peradaban manusia (1.3). Saya akan coba menjelaskan ketiga proyek ini secara lebih detil dengan mengacu pada tafsiran MC tentang pemikiran Halbwachs.

1.1 Bentukan Sosial dari Ingatan Individual[22]

Halbwachs mengajukan tesis secara tegas, bahwa keanggotaan kita di dalam kelompok dibentuk oleh semacam petunjuk (landmark) yang sebelumnya telah ada. Petunjuk itu adalah sesuatu yang dibentuk secara sosial. Ketika kita mengingat sesuatu, kita menggunakan petunjuk yang telah dibentuk secara sosial tersebut untuk mengakses ingatan kita tentang masa lalu. Untuk memberi pendasaran pada argumen ini, Halbwachs coba menjelaskan kaitan antara mimpi dan bahasa.

Ia berpendapat bahwa mimpi bukanlah suatu potret jernih tentang masa lalu. Mimpi juga bukanlah sesuatu yang murni personal-individual. Sebaliknya mimpi merupakan fragmen dari masa lalu, dan selalu memberi tempat bagi dunia sosial yang memberikan konteks pada mimpi tersebut. Mimpi baru bermakna karena mimpi tersebut merupakan suatu representasi kolektif (collective representations). Representasi kolektif itulah yang merupakan ingatan kolektif yang nantinya digunakan oleh individu untuk membentuk ingatannya sendiri tentang masa lalu.[23]

Halbwachs juga meneliti soal aphasia, yakni problem berbicara yang ditandai dengan ketidakmampuan orang untuk mengumpulkan kata-kata yang diinginkannya. Beberapa penelitian menyatakan bahwa aphasia disebabkan oleh kelainan saraf. Namun Halbwachs berpendapat bahwa aphasia adalah ketidakmampuan orang untuk berkomunikasi dengan orang yang berada di luar kelompok sosialnya. Aphasia biasanya juga muncul, ketika orang berhadapan dengan situasi yang tidak biasa dialaminya, seperti sedang ujian, atau bertemu dengan orang baru. Dalam arti ini aphasia ditandai dengan kegugupan, sehingga orang tidak mampu mengumpulkan ide dan kata-kata untuk berkomunikasi. Dari argumen ini dapatlah disimpulkan, bahwa aphasia bukanlah suatu kerusakan psikis di bagian saraf, melainkan terjadinya perpecahan antara individu dengan kelompok sosialnya.[24]

Fenomena mimpi, aphasia, dan bahkan kelainan psikis seringkali dipahami sebagai fenomena personal. Faktor penyebabnya pun juga seringkali dipahami secara biologis. Halbwachs memiliki pandangan berbeda. Baginya setiap tindakan manusia memiliki makna, dan makna itu adalah sesuatu yang dibentuk secara sosial. Maka tidak pernah ada bagian dari diri manusia yang murni personal-biologis, karena semuanya selalu tertanam di dalam dunia sosial. Identitas dan ingatan pun juga dibentuk melalui proses belajar di dalam suatu konteks sosial tertentu. Oleh karena itu semua upaya untuk memahami kelainan psikis pun juga harus dilihat di dalam relasi orang tersebut dengan dunia sosialnya, dan bukan hanya terpaku pada penyebab-penyebab biologis.

Ingatan disebarkan melalui simbol. Untuk ini Halbwachs menggunakan konsep landmark, yang sebenarnya merupakan bagian dari simbol. Tidak hanya itu ia juga berpendapat, bahwa simbollah yang membentuk identitas orang sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu. Simbol tersebut bisa beragam. Salah satu simbol yang cukup menjadi perhatian Halbwachs adalah mimpi dalam kaitannya dengan bahasa. Untuk itu ia mengadakan suatu penelitian tentang mimpi. Tujuannya adalah untuk mengetahui, apakah mimpi sungguh mampu menggambarkan masa lalu orang yang mengalaminya secara tepat? Ia lalu sampai pada kesimpulan, bahwa mimpi merupakan campuran antara masa lalu dan masa kini. Di dalam mimpi terdapat ingatan, namun bukan sejarah yang faktual. Yang membuat mimpi bermakna adalah konteks sosial yang melatarbelakangi mimpi itu, atau apa yang disebut Halbwachs sebagai representasi kolektif (collective representations).

1.2 Ingatan Kolektif dalam Kelompok

Halbwachs lebih jauh berpendapat, bahwa produsen utama dari ingatan kolektif adalah keluarga, kelas-kelas sosial ekonomi di dalam masyarakat, dan komunitas religius. Dalam arti ini keluarga bukanlah sekedar kumpulan orang yang memiliki ikatan darah, atau yang banyak kita kenal sebagai keluarga inti. Keluarga adalah sekaligus fakta, ingatan, dan harapan tentang bentuk keluarga yang ideal yang diwariskan dari masa ke masa. Dengan kata lain keluarga sekaligus melibatkan tubuh fisik individual dan idealitas konseptual yang diwariskan antar generasi.

MC di dalam penelitiannya soal pemikiran Maurice Halbwachs juga membahas tipe-tipe keluarga di dalam sejarah. Di dalam masyarakat Romawi kuno, orang yang menikah tiga atau empat kali di dalam hidupnya dianggap sebagai sesuatu yang normal. Keluarga pun tidak terdiri dari orang tua dan dua anak saja, seperti sekarang ini, tetapi dengan banyak anak, bahkan sampai puluhan jumlahnya. Di dalam masyarakat seperti itu, kultur kolektif sangatlah kuat. Seseorang baru bisa membedakan dirinya dari masyarakat sekitarnya, ketika ia, berdasarkan persetujuan keluarganya, dirasa perlu untuk itu. Jika tidak orang harus tunduk pada tradisi dan peraturan keluarga terkait.

Bentuk kelompok kedua di dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Kelas sosial memperoleh statusnya dengan membedakan diri dari masyarakat sekitarnya. Dan setiap kelas sosial, berdasarkan penelitian MC tentang pemikiran Halbwachs, memiliki kepentingan, harapan, keprihatinan, dan ‘kepribadian’ masing-masing. Semua itu menjadi tegas dalam relasi dengan kelas-kelas sosial lainnya. Dengan kata lain setiap kelas sosial memiliki ciri yang membuat kelas sosial itu unik di antara berbagai kelas sosial lainnya.[25]

MC memberi contoh soal ingatan kolektif kelas pekerja. Menurutnya ingatan kolektif yang membentuk identitas sosial kelas pekerja dibentuk oleh kondisi kelas pekerja sendiri yang selama bertahun-tahun menderita kekurangan ekonomis. Akibatnya mereka tidak bisa hidup dalam kondisi yang sejahtera. Ingatan ini menciptakan rasa rendah diri di kalangan kelas pekerja. Mereka bekerja dalam ritme mekanis layaknya robot. Kemanusiaan mereka pun terancam. Ciri traumatis dari ingatan kolektif kelas pekerja ini membedakannya dengan kelas-kelas sosial lainnya di dalam masyarakat, termasuk kelas sosial religius dan pemilik modal.

Halbwachs –sebagaimana ditafsirkan oleh MC- juga berpendapat, bahwa ingatan kolektif suatu kelompok, atau kelas sosial, juga terbentuk sebagai suatu aspirasi dari kelompok tersebut. Artinya ingatan bukanlah melulu potret dari masa lalu, melainkan juga harapan akan masa depan. Identitas juga merupakan bentukan dari ingatan. Artinya identitas juga mencakup pengalaman masa lalu, peristiwa masa kini, dan aspirasi atas masa depan. Ketiganya tumpang tindih di dalam pembentukan ingatan kolektif suatu masyarakat, dan secara langsung membentuk identitas sosialnya.

Ingatan kolektif juga membekas di dalam ruang material suatu masyarakat. Ruang material itu adalah taman, jalan, bentuk rumah, dan sebagainya yang dengan mudah dapat dilihat dengan mata telanjang. Ruang material itu menurut Halbwachs, sebagaimana ditafsirkan MC, adalah representasi dari identitas suatu masyarakat. Dan mentalitas sendiri adalah ingatan kolektif yang mengental di dalam kultur. Ketika identitas sosial terbentuk, ia melepaskan diri dari manusia-manusia pembentuknya, dan menjadi otonom. Maka “.. ketika individu-individu hidup dan meninggal, masyarakat tidak lenyap bersamanya. Berbagai generasi datang dan pergi, namun desa dan kota masyarakat tetap ada.”[26]

Ruang material suatu masyarakat merupakan simbol dari dimensi psikologis masyarakat tersebut. Inilah yang disebut Halbwachs sebagai morfologi sosial, yakni penelitian terhadap relasi antara ruang material masyarakat dengan ingatan kolektif yang tertanam di dalamnya. Ingatan kolektif membentuk identitas kelompok. Identitas kelompok mempengaruhi ruang material kelompok tersebut, seperti penataan taman kota, jalan raya, susunan rumah, tempat ibadah, pasar, dan sebagainya. Dan ruang material pada akhirnya secara langsung mempengaruhi ingatan kolektif kelompok tersebut. Inilah lingkaran ingatan kolektif, sebagaimana dirumuskan oleh Halbwachs.

1.3 Ingatan Kolektif Kota dan Peradaban

Halbwachs mulai dengan satu pengandaian, bahwa masyarakat memiliki bentuknya sendiri. Setiap populasi memiliki ciri uniknya sendiri yang membedakannya dengan masyarakat atau populasi lainnya. Bagi Halbwachs –sebagaimana ditafsirkan oleh MC- hukum utama di dalam dunia sosial adalah hukum yang secara langsung terkait dengan populasi penduduk manusia di suatu daerah. Dan fenomena yang paling mencengangkan dari masyarakat adalah terbentuknya kehidupan kota (urban life) yang sangat kompleks.

Kota adalah jaringan yang tumpang tindih dari unsur mental maupun material dari sosialitas manusia. Semua jaringan tersebut saling bersilang dan membentuk struktur yang amat kompleks. Halbwachs –sebagaimana diteliti oleh MC- juga menegaskan karakter paradoks dari kota. Di satu sisi dengan ukurannya yang begitu besar, kota justru menghasilkan manusia-manusia yang terisolasi satu sama lain. Namun di sisi lain, kota juga bisa menghasilkan massa orang berkerumun demi satu tujuan tertentu, seperti untuk berdemo, untuk membeli barang diskon, dan sebagainya. Di dalam kota kita bisa melihat relasi antar manusia yang saling terpisah dan terkait pada waktu yang bersamaan.

Untuk memahami kota melalui kaca mata teori ingatan kolektif, Halbwachs menggunakan konsep ‘cara hidup’ (way of life). Cara hidup disini dapat dimengerti sebagai “sekumpulan kebiasaan, kepercayaan dan cara hidup yang muncul dari pekerjaan biasa dan dari bagaimana semua itu terbentuk.”[27] Ia juga berpendapat bahwa ingatan kolektif terbentuk melalui fragmentasi, sama seperti identitas masyarakat kota yang begitu terpecah dan terpisah. Hal ini tentunya berbeda dengan ingatan kolektif di dalam masyarakat tradisional yang memiliki kultur kolektif begitu kuat. Di dalam ingatan kolektif yang fragmentatif tersebut, para warga kota memiliki mobilitas dan pluralitas yang begitu tinggi. Semua fakta ini mempengaruhi proses pembentukan sekaligus isi dari ingatan kolektifnya.

Menurut Halbwachs –sebagaimana diteliti oleh MC-, masyarakat kota memiliki ciri yang unik, yakni dorongan untuk membatasi kelahiran anak. Hal tersebut sebenarnya bisa dimengerti, mengingat ruang material yang semakin kecil di kota-kota besar, yang juga berarti semakin kecilnya ruang untuk orang hidup dan beraktivitas. Di kota-kota besar, beragam orang dengan beragam latar belakang datang dan mengadu nasib. Mereka bekerja dan hidup di tempat yang sama, walaupun memiliki latar belakang yang berbeda, dan bahkan bertentangan. Semua itu menuntut setiap orang untuk mengubah kebiasaan lokalnya masing-masing, dan menyesuaikan diri dengan situasi yang berbeda dan terus berubah.

Halbwachs berpendapat bahwa energi di balik semua itu adalah dorongan untuk mempertahankan dan memperpanjang hidup. Maka kota adalah bentuk modern dari alam, di mana insting pelestarian diri menjadi insting utama yang mendorong orang bertindak. Kota adalah ciri utama dari peradaban manusia modern. Di dalam kota kita menemukan dimensi material dari insting bertahan hidup yang telah lama bercokol di dalam kesadaran manusia. Kota adalah bentuk material peradaban.[28]

Insting penyelamatan diri (survival instinct) manusia membantunya untuk mengurangi tingkat kelahiran di kota-kota besar. Di sisi lain insting penyelamatan diri yang sama juga, dengan bantuan teknologi dan kedokteran, berhasil menurunkan angka kematian di kota-kota besar, terutama kematian akibat penyakit. Di kota-kota besar masyarakat modern, individu memperoleh tempat yang khusus. Keberadaan dan kesejahteraan individu menjadi perhatian. Walaupun dapat juga dikatakan, bahwa hanya individu-individu dengan daya beli yang tinggi yang mendapatkan fasilitas mewah semacam itu. Maka dapat disimpulkan bahwa kota adalah simbol dari peradaban purba yang bergerak dengan logika hukum rimba, yakni siapa yang kuat dialah yang menang.

Berdasarkan analisis ini Halbwachs, sebagaimana ditafsirkan oleh MC, merumuskan konsep ingatan kolektif sebagai kumpulan ingatan individual yang terikat pada representasi ruang dan memancarkan bagaimana ingatan tersebut menciptakan dan melestarikan dirinya sendiri. Contoh paling jelas dari ini adalah keberadaan perbatasan negara untuk mempertahankan kedaulatannya akan teritori tertentu. Batas tersebut bukan hanya untuk menegaskan kedaulatan, tetapi juga untuk menegaskan ingatan yang tertanam pada ruang tersebut. Misalnya –seperti ditulis oleh MC- adalah ingatan akan kehebatan tentara perang di masa lalu.

Halbwachs lebih jauh mengajukan hipotesis, bahwa perubahan sosial muncul dari upaya manusia, dan masyarakat, untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan memahami ingatan kolektif, kita bisa memahami hakekat dari suatu masyarakat, dan juga hukum yang mendasari gerak perubahan masyarakat tersebut. Dalam kerangka ini Halbwachs, sebagaimana diteliti oleh MC, hendak meneliti ingatan kolektif orang-orang Kristen. Di dalam bukunya yang berjudul Collective Memory, Halbwachs melihat Injil, Kitab Suci orang-orang Kristen, sebagai fondasi dari iman Kristen. Dapat juga dikatakan bahwa Injil memuat ingatan kolektif orang-orang Kristen.

Hal yang sama dapat dilihat di dalam desain interior gereja-gereja Kristen. Lukisan tentang proses penyaliban Yesus menunjukkan dengan jelas proses pengingatan yang menjadi dasar dari iman Kristiani. Bagi Halbwachs semua simbol ini mewakili sebuah ingatan tentang masa lalu yang berharga. Ingatan kolektif melambangkan kesatuan, baik kesatuan dalam ruang ataupun waktu, yang nantinya akan membentuk kesatuan identitas. Namun Halbwachs –sebagaimana diteliti oleh MC- menyatakan dengan jelas, bahwa ingatan kolektif bukanlah hanya merupakan gabungan dari ingatan-ingatan lama tentang kejadian yang sudah berlalu, tetapi juga hakekat dari kelompok tersebut. Di dalamnya juga tercakup harapan akan masa depan.

Bagi orang-orang Kristen, Yerusalem adalah simbol material dari ingatan kolektif mereka sebagai orang beragama. Yerusalem adalah tempat rekonstruksi iman Kristiani yang kemudian menjadi dasar bagi Paskah, Natal, dan sebagainya. Momen-momen suci bagi orang Kristiani ini tidak hanya terjebak pada waktu fisik, misalnya di kalendar, tetapi merupakan simbol dari ingatan kolektif yang menjadi esensi dari komunitas religius tersebut. Implikasinya adalah walaupun generasi berakhir, orang meninggal, dan tempat berubah, namun ingatan kolektif akan terus lestari dan ditafsirkan terus menerus untuk menanggapi jaman yang berubah. “Ingatan kolektif”, demikian tulis MC tentang pemikiran Halbwachs, “menyesuaikan diri dengan gambaran dari fakta-fakta lama pada kepercayaan dan kebutuhan spiritual saat ini.”[29]

Halbwachs dengan tegas menyatakan, bahwa ingatan kolektif bukanlah cerminan peristiwa masa lampau yang akurat, melainkan sebuah representasi kebutuhan masa kini, dan harapan akan masa depan. Ingatan kolektif dapat dengan mudah melepaskan ingatan akan suatu peristiwa, jika peristiwa tersebut dipandang merugikan masa kini, dan membunuh harapan akan masa depan yang lebih baik. Dan sebaliknya ingatan kolektif dapat dengan mudah menciptakan ingatan baru akan suatu peristiwa, terutama jika peristiwa tersebut mampu memberikan makna pada masa kini, dan alasan untuk berharap pada masa depan yang lebih baik.

Halbwachs –sebagaimana diteliti oleh MC- memberi contoh tentang bagaimana orang-orang Kristen seringkali menggambarkan Yesus Kristus begitu mulia, dan lupa bagaimana penderitaan yang dijalani-Nya, ketika ia harus membawa salib dalam perjalanan menuju Golgota. Ingatan akan penderitaan yang begitu besar yang dialami oleh Yesus dianggap tidak pas untuk memberikan makna pada situasi sekarang, atau memberi dasar untuk berharap pada masa depan. Maka ingatan tersebut kurang menjadi perhatian, dan orang Kristen lebih menggambarkan Yesus dengan pakaian khas raja dan mahkota yang gemerlap.[30]

3. Ingatan Kolektif dan Nasionalisme

Dapatlah disimpulkan bahwa menurut Halbwachs, ingatan manusia selalu memiliki aspek kolektif. Manusia mengingat dengan simbol, baik dalam bentuk bahasa, ataupun simbol-simbol material, seperti rumah, jalan raya, pohon, dan sebagainya. Simbol tersebut tidak pernah dibentuk secara personal, melainkan selalu terbentuk dan digunakan secara kolektif. Simbol selalu memiliki makna, dan makna selalu merupakan sesuatu yang disepakati. Kesepakatan itu mengandaikan relasi dengan orang lain. Ingatan tidak pernah murni personal, melainkan selalu melalui bahasa ataupun simbol yang akarnya sudah selalu bersifat kolektif.

Lalu bagaimana dengan ingatan suatu masyarakat, atau yang disebut Halbwachs sebagai ingatan kolektif? Halbwachs –sejauh saya memahami- melihat ingatan sebagai produk dari dunia sosial. Hal yang sama berlaku untuk ingatan suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Ingatan kolektif adalah esensi dari suatu masyarakat. Ingatan itu pulalah yang membentuk identitas sosial masyarakat tersebut secara unik, sehingga masyarakat tersebut bisa dibedakan dengan masyarakat lainnya. Keunikan tersebut terwujud di dalam perilaku para warganya, sekaligus di dalam tata material ruang kota, taman, desa, balai kota, dan sebagainya.

Ingatan kolektif adalah ingatan akan suatu peristiwa yang dampaknya luas. Ingatan tersebut bukanlah gambaran akurat tentang peristiwa, melainkan campuran antara kenangan masa lalu, kebutuhan masa kini, dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Maka ingatan bukanlah fakta keras, melainkan fakta yang telah dimaknai. Pemaknaan atas fakta itulah yang mendefinisikan identitas sosial suatu masyarakat, dan yang sekaligus membuatnya unik dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lain. Identitas berisi ingatan baik dalam level personal maupun sosial. Keduanya dibentuk dan dilestarikan oleh praktek sosial masyarakat, atau yang disebut Halbwachs sebagai ‘cara hidup’ (way of life).

Di dalam tulisan ini, saya mengajukan argumen, bahwa nasionalisme dapat dikembangkan dengan terlebih dahulu menegaskan ingatan kolektif. Hal inilah yang ingin saya tawarkan untuk masyarakat Indonesia. Untuk bisa mengembangkan nasionalisme warganya, bangsa Indonesia harus terlebih dahulu memandang masa lalu mereka dengan kerangka kebutuhan masa sekarang, yakni kebutuhan kesatuan nasional yang kuat, serta harapan akan masa depan, yakni harapan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Semua itu harus diwujudkan dengan simbol-simbol nasionalisme yang jelas, baik dalam bentuk material maupun yang imaterial. Dengan kata lain ingatan kolektif bangsa Indonesia, yang melibatkan kenangan akan masa lalu, kebutuhan akan masa kini, serta harapan akan masa depan, harus sungguh memenuhi tuntutan nasionalisme, sebagaimana dirumuskan oleh Norman dan Gellner.

Apa makna dari nasionalisme menurut Gellner dan Norman? Seperti sudah ditulis sebelumnya, ada lima pengertian dasar tentang nasionalisme yang telah dirumuskan Norman dan Gellner, yakni sebagai proses pembentukan bangsa, proses mempertahankan keberadaan sebuah bangsa, simbol kecintaan pada bangsa, ikatan serta kesetiaan pada sebuah bangsa yang dinyatakan secara publik, dan gerakan politis untuk mewujudkan cita-cita sebuah bangsa. Krisis nasionalisme di Indonesia dapat dipahami dalam kelima konsep tersebut. Bagaimana mengatasi krisis nasionalisme tersebut, terutama dengan menerapkan teori ingatan kolektif yang telah dirumuskan oleh Maurice Halbwachs?

Ada lima hal yang kiranya bisa dijabarkan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. Pertama, seperti berulang kali dinyatakan oleh Herry Priyono, proyek pembentukan Indonesia menjadi masyarakat yang adil dan makmur tidak pernah boleh menjadi proyek sampingan semata, melainkan harus sungguh menjadi tujuan utama. Proyek pembentukan Indonesia itulah yang menjadi dasar dari nasionalisme. Sebagai titik tolak Indonesia bisa bergerak dari fakta sejarah yang sama, yang kemudian dimaknai sebagai ingatan kolektif bangsa. Seluruh warga negara diajak untuk kembali mengunjungi masa lalu bangsa, yang kemudian dimaknai dengan kebutuhan masa kini, serta harapan akan masa depan yang lebih baik. Semua ini akan menumbuhkan dan mengembangkan rasa nasionalisme di dalam batin rakyat.

Kedua, berpijak dari titik tolak ingatan kolektif yang sama, maka secara perlahan namun pasti, identitas sosial juga akan terbentuk. Identitas sosial inilah yang mengikat ratusan juta orang yang terbentang dari Sabang sampai Merauke untuk menyatakan dirinya sebagai satu bangsa. Dengan identitas sosial yang kuat, yang dibangun di atas dasar kesadaran sejarah yang sama dan bermakna, maka Indonesia bisa mulai mengembangkan karakter bangsa yang kokoh dan otentik. Dengan adanya karakter maka keberadaan bangsa dan negara Indonesia juga akan semakin kokoh di mata dunia internasional. Kemajuan ekonomi dan politik adalah bentuk konkret dari kokohnya karakter bangsa ini.

Ketiga, ingatan kolektif yang kokoh, yang tercermin dalam kemampuan memaknai sejarah masa lalu bangsa Indonesia sesuai dengan kebutuhan masa kini serta harapan akan masa depan, akan membuat simbol-simbol nasionalisme menjadi relevan dan bermakna. Simbol Burung Garuda yang mewakili semangat Pancasila akan kembali dihayati sebagai pedoman hidup bangsa, dan tidak lagi menjadi simbol trauma penindasan Orde Baru. Upacara untuk merayakan peristiwa nasional tidak lagi dipandang sebagai rutinitas yang membosankan, melainkan sebagai tindak mengingat pengorbanan para pendahulu bangsa, serta nilai-nilai apa yang mereka bela. Semua penghargaan terhadap simbol-simbol bangsa ini dapat muncul, jika bangsa Indonesia memiliki kesadaran akan sejarah yang sama dan bermakna.

Keempat, nasionalisme mensyaratkan adanya ikatan antar warga negara. Ikatan tersebut menciptakan kesetiaan, dan kesetiaan tersebut diakui secara publik. Semua ini hanya dapat terwujud, jika semua warga negara Indonesia menghayati ingatan kolektif yang sama. Ingatan kolektif tersebut berisi kenangan akan masa lalu bangsa yang disertai dengan penyesuaian, guna menanggapi kebutuhan masa kini yang mendesak, dan merancang rencana pembangunan bangsa ke depan yang penuh dengan harapan. Maka dasar dari ikatan tersebut adalah ingatan. Tanpa adanya pemaknaan terhadap ingatan kolektif yang sama, tidak akan ada ingatan. Akibatnya banyak orang Indonesia tidak merasa mengenal satu sama lain, dan mereka juga malu mengakui dirinya adalah warga negara Indonesia, ketika berada di negara lain.

Kelima, nasionalisme juga terwujud di dalam hadirnya gerakan politik yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Banyak gerakan politik di Indonesia sekarang ini tidak berpijak murni pada perwujudan cita-cita bangsa, melainkan digendong oleh kepentingan tertentu, entah kepentingan bisnis ataupun partai politik. Hal itu terjadi karena banyak gerakan politik tersebut miskin nasionalisme, yang juga berarti tidak memiliki identitas sosial yang kuat. Gerakan politik yang sudah ada, dan akan ada, perlu untuk memiliki dasar ingatan kolektif yang kuat, yakni kemampuan untuk memahami sejarah dan konteks gerakan politik di Indonesia yang disesuaikan dengan kebutuhan sekarang, dan harapan akan masa depan. Gerakan sosial politik yang memiliki dasar identitas sosial yang kuat, yang juga berarti ingatan kolektif yang kuat, akan menjadi agen perubahan di Indonesia.

4. Kesimpulan

Nasionalisme adalah suatu aspirasi akan bangsa yang warganya memiliki ikatan sosial maupun emosional yang kuat. Ikatan sosial dan emosional tersebut bukanlah sesuatu yang terbentuk begitu saja, melainkan menempuh proses historis yang panjang dan berliku. Di dalam tulisan ini, dengan berpijak pada pemikiran Norman, Gellner, dan Halbwachs, saya mengajukan argumen, bahwa dasar dari ikatan emosional dan sosial, yang nantinya mengental menjadi gerakan politis tersebut, adalah ingatan kolektif yang kokoh sebagai satu bangsa. Dengan lugas dapatlah dikatakan, bahwa ingatan kolektif adalah esensi dari ikatan yang nantinya membentuk sebuah bangsa.

Apa yang dimaksud dengan ingatan kolektif? Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, dengan mengacu pada pemikiran Halbwachs, ingatan kolektif adalah suatu cara memandang masa lalu sebuah bangsa dengan kerangka kebutuhan masa kini, dan harapan akan masa depan,. Ingatan kolektif yang kokoh dapat dibentuk dengan kesadaran penuh untuk memahami masa lalu sebagai titik tolak untuk menyatukan masa kini, dan mendorong gerak maju ke masa depan. Dari titik ini dapatlah disimpulkan, jika nasionalisme adalah ikatan kolektif, dan ikatan kolektif terbentuk di dalam ingatan kolektif, maka nasionalisme, juga dalam konteks Indonesia, hanya dapat dibentuk dengan kokoh, jika sebuah bangsa (Indonesia) bisa memahami masa lalunya sebagai titik tolak untuk mengelola masa kini, dan menyusun harapan yang masuk akal akan masa depan. Ingatan tersebut seringkali melampaui fakta. Namun bukan fakta buta yang ingin dikejar disini, melainkan makna.***

Daftar Pustaka

Gellner, Ernst, Nations and Nationalism, Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983

Halbwachs, Maurice, Collective Memory, Chicago: University of Chicago Press, 1992.

Marcel, Jean-Christophe dan Mucchielli, Laurent, “Maurice Halbwachs’s mémoire collective”, dalam Cultural Memory Studies, Astrid Erll dan Ansgar Nünning (eds), New York: Walter de Gruyter, 2008, hal. 141-149.

Norman, Wayne, Negotiating Nationalism, Oxford: Oxford University Press, 2006,

Wattimena, Reza, A. A., “Ingatan Sosial, Trauma, dan Maaf”, dalam Jurnal Respons, vol 13, Desember, Jakarta: Atma Jaya, 2008.

Sumber Internet:

http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:M_rGDMdMlqkJ:www.taspen.com/files/humas/UUD%25201945.pdf+UUD+1945&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShSTHgjzzR_JoXZYtJxo1JJFTc17PUY7_ltD49rnjhs0TxfatwpDjHNFZERp8ZO-BUXs1QHQ2ZrzeJP6YL2W7Nc9AeQTVDozfRw-vp8qCeQvhGZm4BDMLKtK9CfXPCq3AjpUXhh&sig=AHIEtbQ7U07xbHCzMegUqHAluPGM7nnovg

Diakses pada 1 Maret 2010 pk. 10.08.

http://thinkexist.com/quotation/each_nation_feels_superior_to_other_nations-that/203663.html Diakses pada 10 Maret 2010 pk. 8.43.


[1] Pada bagian ini saya mengacu pada Norman, Wayne, Negotiating Nationalism, Oxford: Oxford University Press, 2006, 3.

[2] Lihat, ibid, 4.

[3] Lihat, ibid, 6.

[4] Untuk selanjutnya saya mengikuti uraian Ernst Gellner, Nations and Nationalism, Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983, 1. “Nationalism is primarily a political principle, which holds that the

political and the national unit should be congruent. Nationalism as a sentiment, or as a movement, can best be defined in terms of this principle. Nationalist sentiment is the feeling of anger aroused by the violation of the principle, or the feeling of satisfaction aroused by its fulfient. A nationalist movmt is one acmated by a sentiment of this kind.”

[5] Ibid, 2. “In fact, however, nationalism has often not been so sweetly reasonable, nor so rationally symmetrical. It may be that, as Immanuel Kant believed, partiality, the tendency to make exceptions on one’s own behalf or one’s own case, is the central human weakness from which all others flow; and that it infects national sentiment as it does all else, engendering what the Italians under Mussolini called the sacro egoismo of nationalism. It may also be that the political effectiveness of national sentiment would be much impaired if nationalists had as fine a sensibility to the wrongs committed by their nation as they have to those committed against it.”

[6] Ibid, 3, “Violence may be applied only by the central political authority, and those to whom it delegates this right.”

[7] Ibid, 4, “In brief, there are states which lack either the will or the means to enforce their monopoly of legitimate violence, and which nonetheless remain, in many respects, recognizable ‘states’.

[8] Ibid, 4, “Where there is no division of labour, one cannot even begin to speak of the state.”

[9] Ibid, 5, “It does not follow that the problem of nationalism arises for each and every state. On the contrary, it arises only for some states.”

[10] Lihat, ibid, 6, “A man without a nation defies the recognized categories and provokes revulsion.”

[11] Ibid, “A man must have a nationality as he must have a nose and two ears”

[12] Ibid, “Having a nation is not an inherent attribute of humanity, but it has now come to appear as such.”

[13] Lihat, Ibid, “The state has certainly emerged without the help of the nation. Some nations have certainly emerged without the blessings, of their own state. It is more debatable whether the normative idea of the nation, in its modern sense, did not presuppose the prior existence of the state.”

[14] Ibid, 6, “Two men are of the same nation if and only if they share the same culture

[15] Ibid, “system of ideas and signs-and associations and ways of behaving and communicating”

[16] Ibid, “nations maketh man; nations are the artefacts of men’s convictions and loyalties and solidarities.”

[17] Lihat, Norman, 2006, 6.

[18] Saya mengacu pada http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:M_rGDMdMlqkJ:www.taspen.com/files/humas/UUD%25201945.pdf+UUD+1945&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShSTHgjzzR_JoXZYtJxo1JJFTc17PUY7_ltD49rnjhs0TxfatwpDjHNFZERp8ZO-BUXs1QHQ2ZrzeJP6YL2W7Nc9AeQTVDozfRw-vp8qCeQvhGZm4BDMLKtK9CfXPCq3AjpUXhh&sig=AHIEtbQ7U07xbHCzMegUqHAluPGM7nnovg

Diakses pada 1 Maret 2010 pk. 10.08.

[19] Lihat, Wattimena, Reza, A. A., “Ingatan Sosial, Trauma, dan Maaf”, dalam Jurnal Respons, vol 13, Desember, Jakarta: Atma Jaya, 2008.

[20] Dalam sub bab ini, saya mendasarkan diri pada uraian Jean-Christophe Marcel dan Laurent Mucchielli, “Maurice Halbwachs’s mémoire collective”, dalam Cultural Memory Studies, Astrid Erll dan Ansgar Nünning (eds), New York: Walter de Gruyter, 2008, hal. 141-149. Saya akan memberikan keterangan sejelas mungkin tentang tulisan-tulisan yang saya acu.

[21] Lihat, Maurice Halbwachs, “La doctrine d’Émile Durkheim.” Revue philosophique 85, 1918, hal. 410, seperti dikutip oleh Marcel dan Mucchielli, 2008, hal. 141. “Collective consciousness is a spiritual reality. Its action and extensions may indeed be followed into every region of each man’s conscience; its influence on the soul is measured by the influence exerted on sensitive life by the higher facul-ties, which are the means of social thought.”

[22] Pada bagian ini saya terinspirasi dari ibid, hal. 142 dst.

[23] Lihat, ibid, hal. 143. “What makes them true memories are collective representations.”

[24] Lihat, ibid. “At this point, one may postulate that aphasia definitely does not require the presence of brain damage, but that it is above all “a deep alteration in the relations between the individual and the group”.”

[25] Lihat, ibid, hal. 144. “For the constituent element of a group is an interest, an order of ideas and concerns, no doubt reflected in personalities, but still sufficiently general and impersonal to retain their meaning and portent for all “

[26] Ibid, hal. 145. “so that while individuals live and die, society does not disappear with them. Generations go by, but villages and city neighborhoods persist.

[27] Ibid, hal. 147. “a set of customs, beliefs and ways of being resulting from men’s usual occupations and from the way these are established.”

[28] Lihat, ibid, hal. 147. “For the city demands great efforts of its residents, whose integration requires that they change many of their habits and expend their energy to “defend their life” and “prolong it”

[29] Ibid, hal. 148, “It adjusts the image of old facts to the beliefs and spiritual needs of the moment.”

[30] Lihat, ibid, “Conversely, new memories develop and acquire another reality because they henceforth provide individuals with the markers needed to situate themselves in the social environment of the time. For instance, Christians did not always pay attention to the path of suffering followed by Jesus on his way to crucifixion.”

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

5 tanggapan untuk “Indonesia, Nasionalisme, dan Ingatan Kolektif”

  1. Diskusi dan penggalian yang sanagt menarik untuk dicermati. Saya sepakat bahwa yang terjadi saat ini di Indonesia adalah absennya rasa kolektif sebagai sebuah bangsa. Kebetulan saya sedang mengksplorasi pengalaman kolektif dan ikatan emosional-interaksional sebagai roh dari sustainability organisasi dalam postingan terakhir 2010 dan postingan pertama 2011.

    Dalam konteks nasionalisme dan kebangsaan, saya pikir yang diangkat dalam tulisan ini adalah analisa yang sangat urgent untuk ditanggapi saat ini. Semua menafsirkan arti bangsa dari sudut pandangnya masing-masing, tapi lupa hal yang paling esensial bahwa tanpa kerangka kolektif, itu semua jadi tak bermakna. Jangankan ingatan kolektif, saya ragu kesadaran akan collective being sebagai sebuah bangsa sekrang sedang dihancurkan melalui argumen membela partai, membela Tuhan, membela agama, membela pemimpin dan membela yang lain-lain. Saya pikir ini yang esensial, sebelum teriak-teriak tentang nasionalisme di media seperti sekarang ini.

    Suka

  2. Thx James. Sip sip nanti saya lihat.

    Yap politik identitas sedang menerkam bangsa kita sekarang ini. Tapi entah semu atau tidak, pertandingan sepak bola di piala AFF berhasil melahirkan kembali rasa kolektif tersebut, walaupun belum menyentuh ingatan kolektif yang sungguh esensial sebagai sebuah bangsa. Tapi memang saya rasa, itu cuma euforia singkat semata.

    Suka

  3. Betul, dan euforianya justru berpotensi membuat makna nasionalisme menjadi kempis dengan cepat, tidak terinternalisasi ke dalam nilai-nilai dasar kolektif (idelogi dalam terminilogi Zizek)

    Suka

  4. hahahaha.. memang sulit untuk mencari sesuatu yang cukup kokoh sehingga bisa bertahan di dalam terpaan ruang dan waktu sekarang ini…. segalnya tampaknya hanya menjadi euforia singkat, mulai dari suporter olah raga, sampai teori-teori akademik… kita memasuki masa kesementaraan

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.