Keadaban Publik dan Budaya Permisif

main

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Keadaban publik lenyap dari ruang publik kita. Perilaku pengendara di kota-kota besar mencerminkan kebiadaban. Perilaku politikus dan penegak hukum tidak mencerminkan budaya politik yang rasional. Semuanya diperbolehkan karena tidak ada pihak yang berani menjadi rem. Ini terkait erat dengan berkembangnya budaya permisif. Jika dibiarkan semua ini akan mengantarkan kita pada kehancuran.

Keadaban Publik

Keadaban publik dibentuk melalui tiga unsur, yakni keinginan untuk hidup bersama, empati, dan kepatuhan pada aturan yang adil. Tanpa ketiga hal ini, keadaban publik tidak akan tercipta. Tanpa keadaban publik hidup bersama akan terasa menyakitkan. Kegelisahan dan konflik sosial akan menjadi bagian dari rutinitas warga.

Dasar dari keadaban publik adalah keinginan untuk hidup bersama. Dalam arti ini kebersamaan bukan hanya sekedar berada bersama, melainkan sungguh hidup bersama dalam relasi yang dinamis. Tanpa keinginan untuk hidup bersama, masyarakat tidak akan tercipta. Tanpa keinginan untuk hidup bersama, keadaban publik hanya tinggal cita-cita.

Di Indonesia sekarang ini, keinginan untuk hidup bersama perlu untuk ditegaskan ulang. Banyak pihak merasa berbeda dengan pihak lainnya. Akibatnya mereka mengklaim mampu hidup soliter, tanpa keterkaitan dengan yang lain. Di dalam masyarakat semacam ini, keadaban publik akan sulit tercipta. Kita perlu untuk menegaskan komitmen ulang proklamasi dan Sumpah Pemuda untuk berusaha hidup bersama dalam toleransi, lepas dari segala perbedaan yang ada.

Empati

Empati juga diperlukan untuk menciptakan keadaban publik. Empati adalah sikap mengambil posisi orang lain, dan kemudian mencoba memahami dunia dari sudut pandangnya. Dengan pengambilan posisi ini, orang bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, jika berada pada posisi yang sama. Empati adalah elemen utama kehidupan bersama.

Sayangnya empati tampak lenyap dari republik kita. Ideologi neoliberalisme dengan penumpukan modal individual tanpa batas telah menggerogoti empati kita. Fundamentalisme agama telah melenyapkan kemampuan kita untuk melihat dunia dari sudut pandang agama yang berbeda. Tanpa empati tidak akan ada keadaban publik dan kehidupan bersama.

Maka empati sosial perlu kembali ditegaskan. Indonesia ada karena kita ingin hidup bersama. Hidup bersama tidak akan ada, tanpa empati yang kuat. Empati adalah lem yang mengikat kita sebagai bangsa.

Kepatuhan Hukum

Keinginan untuk hidup bersama dan empati sosial adalah dasar kehidupan bersama. Namun kehidupan bersama itu hanya dapat dipertahankan, jika setiap warga mematuhi hukum yang ada. Kepatuhan pada hukum yang ada menjadi syarat mutlak adanya tatanan sosial yang beradab. Tanpanya kita akan jatuh kembali ke dalam barbarisme sosial, di mana manusia adalah serigala bagi sesamanya.

Di Indonesia sekarang ini, kepatuhan pada hukum yang ada menjadi sesuatu yang langka. Hukum ada bukan untuk dipatuhi, namun justru untuk dilanggar. Inilah paradoks hukum Indonesia. Para penegaknya dapat dibeli dengan uang. Keadilan hanya tinggal kenangan tanpa kenyataan.

Banyak pula yang menyesali, bahwa hukum di Indonesia dibuat dalam ruang tertutup. Rakyat tidak diajak berdialog untuk menciptakan hukum yang adil. Rakyat hanya menjadi obyek hukum. Pantas saja mereka meremehkan hukum itu sendiri, berikut para pencipta maupun penegaknya.

Yang harus dibenahi adalah mekanisme perumusan hukum dan undang-undang. Rakyat keseluruhan harus diajak berpartisipasi, tidak bisa hanya para wakilnya di DPR. Jika rakyat berpartisipasi maka mereka akan merasa memiliki produk hukum maupun undang-undang tersebut. Kepatuhan hukum pun akan lebih mudah untuk diwujudkan.

Ketakutan

Dasar dari hidup bersama adalah kehendak politis, empati, dan kepatuhan pada hukum yang adil. Namun semuanya menjadi percuma, jika budaya permisif masih mendominasi. Penyebab budaya permisif adalah ketakutan untuk menegakkan apa yang benar. Orang lebih memilih diam, daripada berjuang untuk mempertahankan apa yang adil.

Orang memilih bermain aman, daripada menjaga kelangsungan prinsip-prinsip yang menyangga kehidupan bersama. Orang lebih senang hidup dalam kenyamanan semu, daripada berbicara terbuka untuk memperbaiki apa yang sudah salah. Untuk melenyapkan budaya permisif, kita perlu mengembangkan budaya integritas. Budaya integritas memungkinkan orang teguh dan berjuang melawan ketidakadilan, walaupun ia harus dikucilkan dari kehidupan bersama.

Yang kita inginkan adalah kehidupan bersama yang otentik, dan bukan yang semu. Untuk itu kita perlu menegaskan kembali kehendak politis kita untuk menciptakan masyarakat memiliki keadaban publik, empati sosial, kepatuhan pada hukum yang adil, dan memiliki integritas moral yang adil. Jangan ditunda lagi! ***

Gambar dari http://www.becauseitmatters.net/images/main.jpg

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

10 tanggapan untuk “Keadaban Publik dan Budaya Permisif”

  1. Hehehehe……..jadi sesungguhnya apa ya sebutan masyarakat yang tak lagi memiliki keadaban publik?

    Karena kesemuan ini membuat suatu masyarakat menjadi pseudopublik, buan publik. Dan ketika keseolah-seolahan ini diselami dengan sungguh-sungguh oleh masyarakatnya, maka kita menjadi masyarakat yang sepakat menjadi kontraproduktif dan tidak sustainable lagi. Dari perspektif organisasi, inilah yang disebut organizational trauma, sebuah keadaan dimana semua silo (kepingan-kepingan struktur) dan joint (tautan antar kepingan) menjadi bagian-bagian yang terfragmentasi. Pada kondisi ini, personality sebuah sistem organisasi menjadi remuk.

    Hal yang sama terjadi dengan sebuah masyarakat. Saatnya kita bertanya apakah agama, hukum dan nilai0nilai budaya itu perekat…..atau justru sudah menjadi emecah keadaban sosial?

    Suka

  2. wah insight yang menarik.. trauma organisasi dan publik semu.

    Publik semua adalah publik penampakan. Sejatinya ia sudah tidak ada, karena terjadi pembalikan nilai2, yakni yang destruktif dianggap sebagai norma, dan yang normatif dianggap terlalu ideal, maka tidak pernah berusaha untuk diwujudkan. Publik pun menjadi kata tanpa makna.

    Agama dan hukum itu sejatinya bagian dari nilai2 yang mengikat masyarakat, sehingga tetap menjadi publik. Kedua hal itu membawa peradaban ke publik yang sebelumnya hanya kerumunan tanpa identitas.

    Yang menarik adalah mencermati, bagaimana agama dan hukum justru membawa terciptanya trauma organisasi dan lahirnya publik semu? Perubahan macam apa yang terjadi? Mengapa?

    Habermas menyatakan bahwa itu terjadi, karena hukum dan agama kehilangan konteksnya pada kehidupan masyarakat, sehingga keduanya menjadi asing, dan tidak bisa menegaskan identitas masyarakat terkait. Dalam bahasa teoritisnya hukum dan agama menjadi sistem yang telah lepas dari dunia kehidupan. Padahal legitimasi sistem adalah acuannya yang tanpa henti pada dunia kehidupan yang penuh dengan makna. Ketika keduanya terputus yang terjadi adalah keterasingan. Itu mungkin awal dari trauma organisasi.

    Suka

  3. Tugasnya adalah bagaimana membuat kebijakan yang tetap mengacu pada darah dan keringat orang2 yang terkena dampak dari kebijakan tersebut? Dan bagaimana membuat agama tetap tertanam pada kegelisahan manusia modern yang terbelah antara makna dan materi? Hukum dan agama yang bisa menjawab dua hal itu akan menciptakan keadaban publik.

    Suka

  4. Mungkin secara epistemologis banyak yang sudah tahu. Yang menarik adalah memaksa yang epistemis menjadi praksis, walaupun keduanya tidak pernah sungguh terpisahkan. Bagaimana yang epistemis bisa membadan ke dalam diri orang. Saya pikir itu kunci perubahan.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.