Pajak dan Kontrak Sosial

Technorati Tags: ,,

Pajak sebagai Simbol Kontrak Sosial

Reza A.A Wattimena

Para filsuf politik sepanjang sejarah berdiskusi keras tentang kondisi alamiah manusia. Pertanyaannya sederhana; sebenarnya pada kondisi alamiahnya, manusia itu mahluk macam apa?

Apakah ia adalah mahluk yang berbudi luhur dan lembut, seperti yang menjadi hipotesis Rousseau lebih dari tiga ratus tahun yang lalu? Ataukah ia adalah mahluk yang ganas dan destruktif, seperti yang menjadi hipotesis Thomas Hobbes lebih dari empat ratus tahun yang lalu?

Sulit untuk menemukan jawaban pasti. Namun satu hal yang langsung bisa terlihat dari situasi kita sekarang ini, tanpa adanya tatanan, kita akan saling menghancurkan.

Kompetisi tidak otomatis melahirkan tatanan. Diperlukan suntikan dari luar, dalam hal ini pemerintah yang legitim, untuk membentuk dan melestarikan tatanan.

Dalam arti ini pemerintah membutuhkan kekuatan politis untuk membentuk militer guna menjaga keamanan dan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Kekuatan politis itu berasal dari partisipasi rakyatnya. Partisipasi itulah yang kita kenal sebagai pajak.

Konsekuensi logisnya adalah tanpa pajak, pemerintah tidak memiliki kekuatan politis. Tanpa kekuatan politis tidak akan ada tatanan.

Dan tanpa tatanan akan tercipta sebuah situasi yang disebut Hobbes sebagai perang semua melawan semua. Pendek kata tanpa tatanan, akan tercipta kehancuran.

Dimensi Filosofis Pajak

Banyak orang masih merasa terbeban dengan pajak. Bagi mereka pajak adalah bentuk penindasan pemerintah terhadap rakyatnya, terutama mereka yang sudah miskin, tetapi masih tetap ditarik pajak.

Di samping kegunaan konkret yang telah diutarakan Suruji (2010), seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan sumber utama pemerintah untuk membayar pegawai negeri sipil, polisi, tentara, dan sebagainya, pajak juga memiliki dimensi filosofis yang sangat mendalam. Pajak adalah simbol dari kontrak sosial.

Hobbes menegaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah mahluk yang destruktif. Argumen ini dapat dibuktikan, jika kita melihat rentang sejarah manusia yang penuh dengan perang dan konflik, sebelum adanya kontrak sosial.

Pada satu titik manusia yang saling berperang tersebut menyadari, bahwa jika mereka semua terus berperang, maka mereka semua akan hancur, tanpa terkecuali. Maka lalu mereka berkumpul untuk membicarakan kemungkinan perdamaian, dan berupaya mencari cara untuk mencegah perang di masa datang.

Cara tersebut adalah dengan menciptakan kontrak sosial dalam bentuk perwujudan suatu otoritas yang mencipta dan melestarikan tatanan. Otoritas itulah yang kita kenal bersama sebagai negara.

Jadi pihak-pihak yang saling berperang menyerahkan sebagian kekuasaannya pada otoritas tersebut, guna menjaga dan melestarikan perdamaian yang ada. Banyak sekali dimensi filosofis yang menjadi dasar dari penyerahan sebagian kekuasaan tersebut, seperti kepercayaan (trust), transaksi, dan pajak.

Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa pajak adalah wujud material dari penyerahan kekuasaan pihak-pihak yang berperang kepada negara. Pajak adalah dasar dari tatanan dan perdamaian yang diharapkan dapat berlangsung lama.

Pelestarian Diri

Kontrak sosial bisa tercipta, karena manusia memiliki dorongan alamiah untuk mempertahankan dan melestarikan dirinya. Itulah kiranya yang menjadi argumen Hobbes.

Kontrak sosial tersebut dibangun di atas tiga pilar filosofis, yakni pelestarian diri, kepercayaan, dan pajak. Ketiganya adalah simbol dari penyerahan kekuasaan kepada negara, atau yang disebut Hobbes sebagai Leviathan.

Dengan adanya kontrak sosial, maka akan tercipta tatanan. Tatanan menjadi awal untuk terciptanya perdamaian dan kesejahteraan.

Maka dapatlah dikatakan bahwa tanpa pajak, tidak akan ada otoritas politis. Tanpa otoritas politis tidak akan ada tatanan.

Tanpa tatanan tidak akan ada perdamaian. Dan tanpa perdamaian tidak akan ada kesejahteraan.

Tanpa perdamaian dan kesejahteraan, maka tidak akan ada pelestarian diri. Perang dan konflik horisontal akan mewarnai eksistensi manusia.

Kondisi perang semua melawan semua akan tercipta. Pada akhirnya eksistensi manusia akan musnah, akibat perang yang diciptakannya sendiri.

Membayar pajak adalah suatu tindakan yang mencerminkan kesadaran manusia sebagai mahluk yang memerlukan tatanan, guna menjamin eksistensinya. Membayar pajak juga mencerminkan kepercayaan sosial (social trust) yang menjadi dasar dari kehidupan bersama manusia.

Taat pajak merupakan representasi dari kesadaran akan pelestarian dan eksistensi diri kita sebagai manusia, dan bukan sekedar kewajiban, apalagi keterpaksaan. Membayar pajak adalah suatu tindakan bermakna.***

Penulis

Reza A.A Wattimena

Pengajar Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandala, Surabaya

Gambar dari:

http://www.nicholsoncartoons.com.au/cartoons/new/2003-09-24%20Tax%20man%20should%20be%20more%20efficient%20350wb.JPG

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Pajak dan Kontrak Sosial”

  1. aslmualkm wr.wb baik bpk reza bagaimna jwabannya jika pertanyaannya? bagaimana pandangan menur filsafat itusendiri atas adanya tikus tikus liar (korupsi) yang ada,cara menghapusnya agartidak ada lagi,karna tikus tikus liar itu saya fikir sudah tidak peduli lagi dan takut pada hukum ,karna saya pikir hukum kita tumpul ke atas rucing kebawah,karna itu sudah sngat merugikan rakyat.

    Suka

  2. Pendidikan harus dibenahi sampai ke akarnya. Pendidikan berpikir kritis dan moralitas alami harus dikembangkan sejak awal. Keteladanan haruslah dibangun dari orang tua, guru sampai pejabat masyarakat. Di dalam semua proses ini, filsafat memainkan peranan amat penting untuk membangun pemikiran yang kritis, mendalam dan rasional di dalam menjalani hidup..

    Suka

  3. Bang Reza, bisa di bagi bang e-booknya Filsafat dan Sains?
    Sangat perlu untuk mendalami filsafat agar mampu mengimplementasi cara berfikir siswa saya di daerah kepulauan yg masih cara berfikirnya acuh tak acuh dalam pendidikan.

    Suka

  4. Bung reza apakah seseorang dapat di katakan filsafat ketika ia berfikir secara personan tanpan berfikir secara demokratis? Dan hanya mencaci pemerintahan atau publik tersebut.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.