Fenomenologi Edmund Husserl

Bab

7

Fenomenologi Edmund Husserl


Reza A.A Wattimena

Pada bab sebelumnya kita sudah berdiskusi soal gaya aphorisme di dalam filsafat Nietzsche. Ia mengajarkan kita untuk berani menembus batas-batas rasionalitas itu sendiri, dan membuka tabir-tabir pemikiran baru yang belum tersentuh sebelumnya. Pada bab ini saya ingin mengajak anda berdiskusi mengenai metodologi berpikir di dalam filsafat Husserl, yang banyak juga dikenal sebagai fenomenologi. Metode ini sangat penting di dalam filsafat, dan juga di dalma penelitian ilmu-ilmu sosial. Di dalam pemikiran Husserl, fenomenologi tidak hanya berhenti menjadi metode, tetapi juga mulai menjadi ontologi. Muridnya yang bernama Heideggerlah yang nantinya akan melanjutkan proyek itu. Pada bab ini saya mengacu pada tulisan David W. Smith tentang Husserl di dalam bukunya yang berjudul Husserl.[1]

Cita-cita Husserl adalah membuat fenomenologi menjadi bagian dari ilmu, yakni ilmu tentang kesadaran (science of consciousness). Akan tetapi pendekatan fenomenologi berusaha dengan keras membedakan diri dari epistemologi tradisional, psikologi, dan bahkan dari filsafat itu sendiri. Namun sampai sekarang definisi jelas dan tepat dari fenomenologi belum juga dapat dirumuskan dan dimengerti, bahkan oleh orang yang mengklaim menggunakannya. Oleh karena itu dengan mengacu pada tulisan Smith, saya akan coba memberikan definisi dasar tentang fenomenologi, sekaligus mencoba memberi contoh penerapannya. Setelah itu saya akan mengajak anda untuk memahami latar belakang teori fenomenologi Husserl yang memang secara langsung diinspirasikan oleh Frans Bretagno, terutama pemikirannya soal psikologi deskriptif. Lalu masih mengacu pada tulisan Smith, saya akan mengajak anda memahami teori tentang kesadaran, terutama konsep kuncinya yang disebut sebagai intensionalitas. Intensionalitas sendiri berarti kesadaran yang selalu mengarah pada sesuatu (consciousness on something), seperti kesadaran akan waktu, kesadaran akan tempat, dan kesadaran akan eksistensi diri sendiri. Selanjutnya kita akan berdiskusi tema-tema yang lebih spesifik di dalam filsafat Husserl, seperti pemikirannya tentang logika, ontologi, dan filsafat transendental.[2]

Arti Fenomenologi

Menurut Smith fenomenologi Husserl adalah sebuah upaya untuk memahami kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang pertama. Secara literal fenomenologi adalah studi tentang fenomena, atau tentang segala sesuatu yang tampak bagi kita di dalam pengalaman subyektif, atau tentang bagaimana kita mengalami segala sesuatu di sekitar kita. Setiap orang pada dasarnya pernah melakukan praktek fenomenologi. Ketika anda bertanya “Apakah yang aku rasakan sekarang?”, “Apa yang sedang kupikirkan?”, “Apa yang akan kulakukan?”, maka sebenarnya anda melakukan fenomenologi, yakni mencoba memahami apa yang anda rasakan, pikirkan, dan apa yang akan anda lakukan dari sudut pandang orang pertama.

Dengan demikian fenomenologi adalah upaya untuk memahami kesadaran dari sudut pandang subyektif orang terkait. Pendekatan ini tentu saja berbeda dengan pendekatan ilmu pengetahuan saraf (neuroscience), yang berusaha memahami cara kerja kesadaran manusia di dalam otak dan saraf, yakni dengan menggunakan sudut pandang pengamat. Neurosains lebih melihat fenomena kesadaran sebagai fenomena biologis. Sementara deskripsi fenomenologis lebih melihat pengalaman manusia sebagaimana ia mengalaminya, yakni dari sudut pandang orang pertama.

Walaupun berfokus pada pengalaman subyektif orang pertama, fenomenologi tidak berhenti hanya pada deskripsi perasaan-perasaan inderawi semata. Pengalaman inderawi hanyalah titik tolak untuk sampai makna yang bersifat konseptual (conceptual meaning), yang lebih dalam dari pengalaman inderawi itu sendiri. Makna konseptual itu bisa berupa imajinasi, pikiran, hasrat, ataupun perasaan-perasaan spesifik, ketika orang mengalami dunianya secara personal.

Jika fenomenologi berfokus pada pengalaman manusia, lalu apa kaitan fenomenologi dengan psikologi sebagai ilmu tentang perilaku manusia? Husserl sendiri merumuskan fenomenologi sebagai tanggapan kritisnya terhadap psikologi positivistik, yang menolak eksistensi kesadaran, dan kemudian menyempitkannya semata hanya pada soal perilaku. Oleh sebab itu menurut Smith, fenomenologi Husserl lebih tepat disebut sebagai psikologi deskriptif, yang merupakan lawan dari psikologi positivistik.

Di dalam fenomenologi konsep makna (meaning) adalah konsep yang sangat penting. “Makna”, demikian tulis Smith tentang Husserl, “adalah isi penting dari pengalaman sadar manusia..”[3] Pengalaman seseorang bisa sama, seperti ia bisa sama-sama mengendari sepeda motor. Namun makna dari pengalaman itu berbeda-beda bagi setiap orang. Maknalah yang membedakan pengalaman orang satu dengan pengalaman orang lainnya. Makna juga yang membedakan pengalaman yang satu dan pengalaman lainnya. Suatu pengalaman bisa menjadi bagian dari kesadaran, juga karena orang memaknainya. Hanya melalui tindak memaknailah kesadaran orang bisa menyentuh dunia sebagai suatu struktur teratur (organized structure) dari segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Namun begitu menurut Husserl, makna bukanlah obyek kajian ilmu-ilmu empiris. Makna adalah obyek kajian logika murni (pure logic). Pada era sekarang logika murni ini dikenal juga sebagai semantik (semantics). Maka dalam arti ini, fenomenologi adalah suatu sintesis antara psikologi, filsafat, dan semantik (atau logika murni).

Bagi Husserl fenomenologi adalah suatu bentuk ilmu mandiri yang berbeda dari ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Dengan fenomenologi Husserl mau menantang semua pendekatan yang bersifat biologis-mekanistik tentang kesadaran manusia, seperti pada psikologi positivistik maupun pada neurosains. Ia menyebut fenomenologi sebagai ilmu pengetahuan transendental (transcendental science), yang dibedakan dengan ilmu pengetahuan naturalistik (naturalistic science), seperti pada fisika maupun biologi. Dan seperti sudah disinggung sebelumnya, perbedaan utama fenomenologi dengan ilmu-ilmu alam, termasuk psikologi positivistik, adalah peran sentral makna di dalam pengalaman manusia (meaning in experience). Fenomenologi tidak mengambil langkah observasi ataupun generalisasi di dalam penelitian tentang manusia, seperti yang lazim ditemukan pada psikologi positivistik.

Cita-cita Husserl adalah mengembangkan fenomenologi sebagai suatu displin ilmiah yang lengkap dengan metode yang jelas dan akurat. Di dalam ilmu-ilmu alam, seperti kimia, fisika, dan biologi, kita mengenal adalah metode penelitian ilmu-ilmu alam yang sifatnya empiris dan eksperimental. Inti metode penelitian ilmu-ilmu alam adalah melakukan observasi yang sifatnya sistematis, dan kemudian menganalisisnya dengan suatu kerangka teori yang telah dikembangkan sebelumnya. Husserl ingin melepaskan diri dari cara berpikir yang melandasi metode penelitian semacam itu. Baginya untuk memahami manusia, fenomenologi hendak melihat apa yang dialami oleh manusia dari sudut pandang orang pertama, yakni dari orang yang mengalaminya.

Di dalam kerangka berpikir ini, seorang ilmuwan sekaligus adalah sekaligus peneliti dan yang diteliti. Ia adalah subyek sekaligus obyek dari penelitian. Dan seperti sudah ditegaskan sebelumnya, fenomenologi adalah cara untuk memahami kesadaran manusia dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Namun menurut penelitian Smith, Husserl membedakan tingkat-tingkat kesadaran (state of consciousness). Yang menjadi fokus fenomenologi bukanlah pengalaman partikular, melainkan struktur dari pengalaman kesadaran, yakni realitas obyektif yang mewujud di dalam pengalaman subyektif orang per orang. Konkretnya fenomenologi berfokus pada  makna subyektif dari realitas obyektif di dalam kesadaran orang yang menjalani aktivitas kehidupannya sehari-hari. Dalam kosa kata Husserl, “obyek kesadaran sebagaimana dialami.”[4]

Fenomenologi Husserlian adalah ilmu tentang esensi dari kesadaran. Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan esensi dari kesadaran? Berdasarkan penelitian Smith fenomenologi Husserl dibangun di atas setidaknya dua asumsi. Yang pertama, setiap pengalaman manusia sebenarnya adalah satu ekspresi dari kesadaran. Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya sendiri yang memang bersifat subyektif. Dan yang kedua, setiap bentuk kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Ketika berpikir tentang makanan, anda membentuk gambaran tentang makanan di dalam pikiran anda. Ketika melihat sebuah mobil, anda membentuk gambaran tentang mobil di dalam pikiran anda. Inilah yang disebut Husserl sebagai intensionalitas (intentionality), yakni bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu.

Tindakan seseorang dikatakan intensional, jika tindakan itu dilakukan dengan tujuan yang jelas. Namun di dalam filsafat Husserl, konsep intensionalitas memiliki makna yang lebih dalam. Intensionalitas tidak hanya terkait dengan tujuan dari tindakan manusia, tetapi juga merupakan karakter dasar dari pikiran itu sendiri. Pikiran tidak pernah pikiran itu sendiri, melainkan selalu merupakan pikiran atas sesuatu. Pikiran selalu memiliki obyek. Hal yang sama berlaku untuk kesadaran. Intensionalitas adalah keterarahan kesadaran (directedness of consciousness). Dan intensionalitas juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang bertujuan pada satu obyek.

Namun Husserl juga melihat beberapa pengalaman konkret manusia yang tidak mengandaikan intensionalitas, seperti ketika anda merasa mual ataupun pusing. Kedua pengalaman itu bukanlah pengalaman tentang suatu obyek yang konkret. Namun pengalaman itu sangatlah jarang, kecuali anda yang menderita penyakit tertentu. Mayoritas pengalaman manusia memiliki struktur. Mayoritas pengalaman manusia melibatkan kesadaran, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Husserl menyebut setiap proses kesadaran yang terarah pada sesuatu ini sebagai tindakan (act). Dan setiap tindakan manusia selalu berada di dalam kerangka kebiasaan (habits), termasuk di dalamnya gerak tubuh dan cara berpikir.

Fenomenologi adalah analisis atas esensi kesadaran sebagaimana dihayati dan dialami oleh manusia, dan dilihat dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Fenomenologi menganalisis struktur dari persepsi, imajinasi, penilaian, emosi, evaluasi, dan pengalaman orang lain yang terarah pada sesuatu obyek di luar. Dengan demikian menurut Smith, fenomenologi Husserl adalah suatu penyelidikan terhadap relasi antara kesadaran dengan obyek di dunia luar, serta apa makna dari relasi itu. Konsep bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu merupakan konsep sentral di dalam fenomenologi Husserl.[5]

Kesimpulan

Seperti sudah disinggung sebelumnya, fenomenologi adalah suatu refleksi atas kesadaran dari sudut pandang orang pertama. Konkretnya fenomenologi hendak menggambarkan pengalaman manusia sebagaimana ia mengalaminya melalui pikiran, imajinasi, emosi, hasrat, dan sebagainya. Dalam hal ini Husserl sangat berhutang pada Bretano. Bretano sendiri membedakan dua jenis psikologi, yakni psikologi deskriptif yang dikenal juga sebagai fenomenologi, dan psikologi genetis (genetic psychology). Psikologi deskriptif hendak memahami dinamika kehidupan mental manusia. Sementara psikologi genetis ingin memahami dinamika mental manusia dengan kaca mata ilmu-ilmu genetika yang sifatnya biologistik. Di dalam pemikiran Husserl, fenomenologi menjadi suatu displin yang memiliki status otonom. Ia pun merumuskannya secara lugas, yakni sebagai ilmu tentang esensi kesadaran. Dan berulang kali ia menegaskan, bahwa kesadaran manusia tidak pernah berdiri sendiri. Kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Inilah yang disebut dengan intensionalitas, suatu konsep yang sangat sentral di dalam fenomenologi Husserl.

Husserl kemudian mencoba mengembangkan teori intensionalitas ini. Setiap tindakan manusia selalu melibatkan kesadaran, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran atas suatu obyek yang nyata di dunia. Manusia adalah subyek dan subyek selalu terarah pada suatu obyek yang nyata di dunia. Obyek dari kesadaran dan tindakan manusia tidak pernah berada di dalam ruang kosong, melainkan selalu berada di dalam horison makna tertentu. Maka dari itu intensionalitas kesadaran selalu melibatkan relasi rumit antara subyek (manusia) yang sadar, tindakan, obyek, dan horison dari obyek tersebut. Relasi rumit di dalam intensionalitas kesadaran itulah yang menjadi dasar dari fenomenologi.

Setelah menjadikan intensionalitas kesadaran sebagai dasar filsafatnya, Husserl kemudia menganalisis struktur-struktur dasar kesadaran secara detil, seperti persepsi, penilaian, tindakan, ruang, waktu, tubuh, keberadaan orang lain, dan sebagainya. Subyek (manusia) dan obyek selalu berada di dalam horison makna tertentu yang disebut Husserl sebagai dunia kehidupan (life-world). Secara singkat dunia kehidupan adalah dunia di sekeliling manusia yang dialaminya secara familiar di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam dunia kehidupan, manusia memperoleh makna dan identitasnya sebagai manusia. Dalam arti ini fenomenologi adalah suatu upaya untuk memahami kesadaran manusia dalam konteks kaitan dengan dunia kehidupannya.

Fenomenologi Husserl hendak menganalisis dunia kehidupan manusia sebagaimana ia mengalaminya secara subyektif maupun intersubyektif dengan manusia lainnya. Sebenarnya ia membedakan antara apa yang subyektif, intersubyektif, dan yang obyektif. Yang subyektif adalah pengalaman pribadi kita sebagai manusia yang menjalani kehidupan. Obyektif adalah dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen di dalam ruang dan waktu. Dan intersubyektitas adalah pandangan dunia semua orang yang terlibat di dalam aktivitas sosial di dalam dunia kehidupan.[6] Interaksi antara dunia subyektif, dunia obyektif, dan dunia intersubyektif inilah yang menjadi kajian fenomenologi. Fenomenologi membuka kesadaran baru di dalam metode penelitian filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Kesadaran bahwa manusia selalu terarah pada dunia, dan keterarahan ini melibatkan suatu horison makna yang disebut sebagai dunia kehidupan. Di dalam konteks itulah pemahaman tentang manusia dan kesadaran bisa ditemukan.***



[1] Pada bab ini saya mengacu pada David Woodruff Smith, Husserl, London, Routledge, 2007.

[2] Lihat, ibid, hal. 188.

[3] Ibid, hal. 190.

[4] Ibid, hal. 191.

[5] Lihat, ibid, hal. 193.

[6] Lihat, ibid, hal. 234.


Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

80 tanggapan untuk “Fenomenologi Edmund Husserl”

  1. Ada kalimat yang sering kudengar begini; “KEhidupan manusia dibatasi Ruang dan Waktu”
    Satu pertanyaan awam bang, apa sih pengertian dan hakekat RUANG dan WAKTU?

    Makasih bang

    Suka

  2. artinya sederhana. Begini setiap orang selalu hidup di ruang tertentu. Misalnya ia tinggal di Jakarta, atau Surabaya. Ia tidak bisa meninggalkan ruang. Dan juga orang selalu hidup dalam waktu. Ia selalu menempati waktu tertentu, seperti pk 7.30 pagi. Ia tidak bisa melepaskan diri dari waktu. Gerak manusia dibatasi oleh ruang dan waktu. Identitasnya pun terbentuk di dalam ruang dan waktu.

    Suka

  3. mau tanya bang, dalam teori fenomenologi ada yang namanya kesadaran subyektif, obyektif, dan intersubyektif… mohon penjelasannya secara sederhana saja bang… karena saya sangat bingung antara kesadaran subyektif dan intersubyektif… mohon diberi contoh juga ya bang… trims

    Suka

  4. Kesadaran subyektif adalah kesadaran diri, yakni kesadaran akan keberadaanku. Misalnya saya Reza. Saya sadar akan keberadaanku.

    Kesadaran intersubyektif adalah kesadaran diri dalam relasi dengan diri-diri lainnya. Misalnya saat saya berkomunikasi dengan orang lain, saya juga sadar akan posisi saya, kekurangan maupun kekuatan saya.

    Bagaimana?

    Suka

  5. ka mau nanya ni….klu proposal kita tntg proses komunikasi atntara pelaku prostitusi trus kta menggunakan teori edmund husserl itu bisa ngga????

    Suka

  6. Misalnya fenomenologi untuk memahami anak. Kita tidak melihat anak seturut dengan prasangka dan harapan-harapan kita atasnya, melainkan melihat anak sebagai dirinya sendiri yang menampilkan diri kepada kita, sehingga ia bisa menjadi dirinya sendiri, dan kita bisa memahaminya secara tepat.

    Suka

  7. kalau saya tidak salah menangkap tentang fenomenologi husserlian ini, bahwa manusia menciptakan kesadaran akan dunia berdasarkan pengalaman, jadi dunia dalam pandangan kita bisa berbeda dengan dunia dalam pandangan orang lain, apakah benar seperti itu? (harap maklum ..sudah baca2 tetep gak ngeh :D)

    jika kita menggunakan fenomenologi, mungkin gak kita menggunakan dalam studi kuantitatif?

    terimakasih

    Suka

  8. Fenomenologi hanya untuk penelitian kualitatif. Pola berpikirnya berbeda dengan metode kuantitatif. Di dalam fenomenologi, kesadaran selalu terarah pada dunia. Tidak ada kesadaran yang berdiri sendiri, dan dunia hanya dapat diketahui, sejauh kesadaran kita terarah padanya. Ini inti pandangan intensionalitas Husserl. Ketika kesadaran menyentuh dunia, muncul tafsir. Tafsir mungkin berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Namun, Husserl tidak ngomong hal ini. Dia ngomong di level epistemologi metafisis, lebih dalam dari sekedar relativisme tafsir, seperti yang anda maksudkan.

    Suka

  9. Justru fenomenologi adalah ilmu yang berusaha melampaui prasangka, dan melihat realitas pada dirinya sendiri. Fenomenologi berusaha menunda semua asumsi yang dimiliki orang, dan berusaha kembali mengamati serta memahami obyek sebagaimana obyek itu menampilkan diri pada kita.

    Suka

  10. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan “intensionalitas” dalam fenomenologi Edmund Husserl ini? Tolong diberikan contohnya juga. Terimakasih

    Suka

  11. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan “intensionalitas” dalam fenomenologi Edmund Husserl ini? Tolong diberikan contohnya juga. Terimakasih

    Suka

  12. bahwa kesadaran manusia selalu merupakan kesadaran akan sesuatu.. kesadaran selalu terarah pada benda di luar dirinya.. kesadaran tidak pernah kosong, tetapi selalu terintensi pada sesuatu

    Suka

  13. Menurut anda sebenarnya (intinya) keunggulan fenomenologi itu apa?
    lalu untuk menanggapi fenomena bonek yang terkenal anarkis dari sudut pandang pemerintah melalui fenomologi itu seperti apa?
    tolong jawabannya, ditunggu…

    Suka

  14. fenomenologi hendak memahami realitas apa adanya, tanpa pengandaian dan teori apapun… coba lihat bonek apa adanya, tanya mereka, hidup dengan mereka, jangan pakai prasangka atau teori dulu, jangan percaya buku, dan jangan percaya pemberitaan media

    Suka

  15. Dalam fenomenologi kita perlu terjun langsung ke lapangan merasakan apa yang ada. Melihat dengan subyektif, obyektif dan intersubyektitas. Semua itu menjadi dasar informasi yang nantinya akan menjadi suatu teori. Apakah benar begitu?

    Suka

  16. kak saya mau tanya apa sie perbedaan antara pemikiran hermeneutika, eksistensialisme dan fenomenologis itu sendiri???

    terima kasih

    Suka

  17. ditambah dengan mengungkap apa yang menjadi bagian pra-reflektif dari fenomena yang diamati. Fenomenologi juga hendak mengungkap pengandaian-pengandaian yang tersembunyi dan tak disadari dari suatu fenomena…

    Suka

  18. hermeneutika: tindak menafsir, bisa tafsir teks atau tafsir kenyataan itu sendiri
    eksistensialisme: filsafat tentang keputusan subyektif manusia atas dasar kebebasan dan kesadaran
    fenomenologi: metode filosofis untuk memahami fenomena dengan membiarkan fenomena itu tampil ke hadapan kita apa adanya, tanpa prasangka dari kita
    semoga cukup membantu

    Suka

  19. salam kenal Pak Reza. Pak saya ingin menanyakan perbedaan fenomenologi Husserl dengan fenomenologi Schutz. Apakah keduanya memiliki perbedaan yang cukup jelas? karena setelah saya membaca literatur, pemahaman yang saya dapatkan sangat dangkal yaitu :
    Husserl : digunakan pada penelitian yang transeden (secara murni, mental, scr psikologis *mungkin fenomena yg terjadi secara individu, sementara Schutz lebih pada fenomena yang bersifat sosial, misalnya anak jalanan, pengemis, dll. Mohon bantuannya Pak, terimakasih.

    Suka

  20. yap.. saya setuju dengan pembedaan itu.. Husserl berbicara fenomenologis filosofis, dan bukan sebagai metode ilmu sosial.. butuh usaha interpretasi lebih jauh, guna sampai pada penelitian sosial…

    Suka

  21. bang mau tanya kalau prposal tentang Perilaku menyimpang remaja dari keluarga broken home bisa menggunakan teoriny husserl enggak dalam pendekatanya?

    Suka

  22. yang dapat saya pahami,
    Misalkan kita menggunakan fenomeno logi dalam kasus seorang pencuri, maka kita tidak boleh melihat atau menilai perilaku pencuri tersebut dari sudut pandang orang lain, atau prasangka orang lain yang misalkan mengatakan bahwa pencuri itu memiliki moral yang tidak baik, malas bekerja, akan tetapi kita harus menilai perbuatan sipencuri tersebut dari sudut pandang subyektif / pencuri, sehingga kita misalkan memperoleh alasan karena desakan kebutuhan, dan susahnya lapangan pekerjaan !
    Apakah sudah benar fenomenologi dalam kasus pencurian yang saya gambarkan pak ?

    Selanjutnya, fenomenologikan merupakan usaha untuk memahami kesadaraan orang lain dari sudut pandang subyektif, ketika kita ingin memahami kesadaran orang tersebut apakah kualitas pemikiran kita juga sangat berpengaruh didalam memahmi kesadarannya ?

    Suka

  23. Benar sekali dua poin anda. Fenomenologi berurusan dengan makna. Yang penting, kita harus kritis dengan pemikiran kita sendiri, supaya tidak terlalu banyak mengaburkan makna tindakan dari pencuri yang ingin anda pahami di atas.

    Suka

  24. maaf om, saya mau tanya. perbedaan antara fenomologi dengan etnografi dalam konteks penelitian kualitatif itu apa?

    Suka

  25. di dalam tulisan bapak di atas dijelaskan bahwa kesadaran manusia tidak pernah berdiri sendiri. Kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Inilah yang disebut dengan intensionalitas.

    Namun Husserl juga melihat beberapa pengalaman konkret manusia yang tidak mengandaikan intensionalitas. ini yang membuat saya bingung, bisakah bapak menjelaskan sedikit lebih rinci dan memberikan contohnya lebih banyak?

    terimakasih.

    Suka

  26. fenomenologi itu dasar dari etnografi. Fenomenologi sampai dengan objek metafisis, yakni kesadaran itu sendiri. Sementara, etnografi hanya untuk fenomena sosial saja…

    Suka

  27. mohon maaf telah mengganggu waktu bapak. tapi jika tidak keberatan, bapak bisa share jawaban bapak ke saya lain waktu.

    Suka

  28. Halo Pak Reza, saya mau tanya. Berdasarkan tulisan Bapak dan tanya jawab yang saya baca, berarti jika kita menggunakan metode fenomenologi, kita tidak akan mendapatkan jawaban benar atau salah. Benarkah begitu? Itu pertama.
    Kedua, apakah berarti fenomenologi bertolak belakang dengan teori labeling?
    Terima kasih pak..

    Suka

  29. Fenomenologi bukan soal benar atau salah, tetapi soal “apa yang sesungguhnya ada di kenyataan”. Fenomenologi menunda semua labelling, dan melihat kenyataan sebagaimana adanya. Salam

    Suka

  30. Maaf Pak mau tanya , Fenomenologi itu merupakan sebuah pendekatan atau teori? ataukah bisa di fungsikan keduanya? apakah teori Husserl bisa digunakan sebagai penelitian mengenai pemasaran word of mouth yang dilakukan oleh konsumen yang merupakan subjek penelitian?

    Terimakasih, mohon jawabannya ya pak:)

    Suka

  31. Fenomenologi sekaligus sebuah metode sekaligus sebuah teori. Ia bisa digunakan untuk beragam bentuk penelitian sosial. Kita perlu sedikit kritis dan kreatif di dalam menerapkannya. Semoga membantu.

    Suka

  32. Mungkin pertanyaan saya sedikit di luar konteks tulisan anda ini. Tapi sedikiti berhubungan. Menegenai penelitian etnometodologi, saya sempat membaca sedikit mengenai pendekatan itu dan ternyata fenomenologi memiliki pengaruh dalam pembentukan pendekatan tersebut. Etnometodolgi lebih fokus pada observasi dan eksperimen dalam penelitiannya, kalau tidak salah.
    Nah, Apakah penelitian etnometodologi juga berusaha untuk membongkar suatu makna terhadap suatu fenomena?

    Suka

  33. Pak reza yang terhomat

    Saya ingin mengenai fenomenologi untuk penelitian saya.

    Bagaimana hubungan teori fenomenologi terhadapat patrisipasi masyarakat lokal dalam pemanfaatan pariwisata ?

    Dan minta rujukan literar selain buku ritzer

    Tolong gambarkan point2 fenomologinya agar saya bisa jadikan landasaran teori

    Terimakasih atas waktu & ketersediaan menjawab

    Suka

  34. metode fenomenologi husserl ini perlu berapa orang minimal yang harus di wawancarai pak? apakah kurang lebih sama dengan craswell? 10 Subjek atau lebih?

    Suka

  35. Kalau mau menggunakan fenomenologi dlm penelitian sosial, alat analisis/proses analisis (menurut Husserl) seperti apa…
    adakah rujukan yg harus saya baca..

    Suka

  36. Salam, mau tanya pa. Dalam hermeneunika paul ricouer dia mengungkapkan fenomenologi hermeneutik yg kemudian disebut lingkaran hermeneutik yang Fenomenologinya ala husserl. Bagaimana cara kerja fenomenologi hermeneutika ini pa, mohon pencerahannya

    Suka

  37. Salam pak,
    jika berkenan, saya minta ulasan dan penjelasan khusus (bisa melalui tulisan) tentang fenomenologi hermeneutik. Dan adakah metode atau tahapan khusus dalam melaksanakannya?
    Terimakasih

    Suka

  38. salam pak,
    saya mau pakai teori fenomenologi husserl ini untuk penelitian saya.
    saya sekarang kebingungan cari sumber primer teori ini, yaitu buku karangan edmund husserl yang bicara bahwa fenomenologi adalah instensionalitas.
    bisakah bapak membantu saya?
    apa judul buku karangan edmund husserl tersebut?
    trimakasih pak 🙂

    Suka

  39. Pak Reza yang baik, saya baru belajar tentang fenomenologi. Dari beberapa artikel yang saya baca tentang fenomenologi Husserl dibahas tentang transeden – transendental, mohon maaf bisakah bapak membahas sekelumit tentang transenden – transendental? Terimakasih

    Suka

  40. Terima kasih. Dua kata itu memang memiliki beberapa arti, tergantung pada tradisi. Tapi secara umum, artinya begini. Transenden adalah sesuatu yang melampaui kenyataan sehari-hari, terutama kenyataan fisik duniawi. Transenden sering juga mengacu pada sesuatu yang bersifat metafisik dan universal, seperti Tuhan misalnya. Transendental memiliki arti lain. Ia adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya sesuatu. Pengertian ini khas di dalam filsafat Jerman. Semoga terbantu.

    Suka

  41. Selamat sore Pak. Saya ke laman ini demi menjawab tugas UT saya tentang Fenomenologi Husserl. Apakah Husserl juga:
    consciousness (consequences) –> (consequences) intensionality ?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.