Hubungan Pengetahuan dan Nilai

http://www.worlds-luxury-guide.com

Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Dua tajuk rencana Kompas 9 Juni 2009 mengenai independensi lembaga survei dan hasil pemilu di Lebanon menyentuh langsung problem abadi di dalam filsafat ilmu pengetahuan, yakni relasi antara pengetahuan dan nilai. Lembaga survei menyajikan hasil penelitian yang beragam mengenai hasil pemilu presiden dan wakil presiden mendatang. Perbedaan hasil penelitian sangatlah besar. Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan, bahwa calon SBY-Boediono akan mendapatkan 71 persen suara, sementara menurut Lembaga Riset Indonesia (LRI), pasangan SBY-Boediono akan mendapatkan 33,02 persen suara. (Kompas, 9 Juni 2009) Tidak jelas mana hasil survei yang lebih akurat.

Di sisi lain hasil pemilu di Lebanon menunjukkan kemenangan Koalisi 14 Maret yang didukung oleh AS, Mesir, Yordania, dan Arab Saudi atas Koalisi 8 Maret yang didukung oleh kubu Iran dan Suriah. Intinya kelompok-kelompok pro AS menang atas kelompok-kelompok yang pro Iran. (Kompas, 9 Juni 2009) Jelas sekali pengaruh asing pada pemilu di Libanon. Sebagai sebuah praktek politik di Lebanon, pesta demokrasi sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang bersifat eksternal dari padanya.

Pengetahuan dan Nilai

Problem relasi antara pengetahuan dan nilai muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern dan filsafat, terutama pada masa revolusi saintifik (scientific revolution) pada abad ke-17. Pertanyaan yang diajukan sebenarnya sederhana, bisakah ilmu pengetahuan dan filsafat mencapai tingkat obyektivitas murni? Bisakah ilmu pengetahuan dan filsafat memberikan kebenaran yang bersifat universal, yang berlaku untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun? Bisakah ilmu pengetahuan dan filsafat bebas dari nilai? (Wattimena, 2008)

Ada dua jawaban yang ditawarkan. Yang pertama adalah jawaban yang diberikan oleh para pemikir positivis-obyektivis. Bagi mereka pengetahuan bisa mencapai tahap obyektivis dengan mengacu secara ketat dan sistematis pada metode penelitian ilmiah. Artinya metode adalah alat penjamin netralitas dan obyektivitas penelitian. Metode membantu orang untuk tetap setia pada fakta yang dapat dipersepsi oleh inderawi, dan tidak terbawa pada spekulasi-spekulasi yang tampaknya rasional, tetapi sebenarnya tidak memiliki dasar. Cara berpikir ini bisa diterapkan baik di ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu alam.

Yang kedua adalah jawaban para pemikir kritis dan fenomenolog. Bagi mereka pengetahuan tidak akan pernah mencapai level obyektivitas. Pengetahuan adalah sekaligus hasil konstruksi individu maupun lingkungan sosial yang terbatas pada ruang dan waktu tertentu. Tidak hanya itu fungsi penelitian bukanlah untuk menemukan kebenaran universal, melainkan untuk memahami suatu konteks tertentu yang memang bersifat partikular. Tidak ada ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, yang bisa mencapai level hukum universal. Tidak hanya tidak ada, melainkan aspirasi semacam itu adalah sesat, karena berasal dari kesalahpahaman terhadap fungsi pengetahuan bagi kehidupan manusia.

Setiap bentuk pengetahuan merupakan hasil konstruksi dari penelitian. Dan setiap penelitian selalu dipengaruhi setidaknya tiga hal, yakni keyakinan moral, asumsi-asumsi epistemis, dan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi sang peneliti. Seorang peneliti tidak akan bisa melepaskan keyakinan moralnya. Jika ia menabukan sebuah tema tertetu, maka ia tidak akan bisa melakukan penelitian yang bertanggung jawab terhadap tema itu. Konsep si peneliti tentang apa itu realitas, fungsi ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, dan pengaruh dari penyandang dana penelitian membuat hasil penelitian semakin jauh dari obyektivitas.

Ilusi Obyektivisme

Apa relevansi perdebatan itu bagi kehidupan berbangsa kita? Relevansinya jelas yakni masyarakat kita perlu semakin kritis terhadap semua pernyataan yang mendaku ilmiah, yang dilontarkan di dalam ruang publik melalui media massa. Gelar doktor, guru besar, ataupun pejabat penting negara tidak boleh mengaburkan sikap kritis masyarakat terhadap pernyataan-pernyataan mereka. Ingatlah bahwa seorang peneliti, ilmuwan, ataupun filsuf yang paling ahli sekalipun memiliki ‘lubang’ di dalam penelitian maupun pernyataan mereka. Lubang yang tidak bisa dihindari, karena terintegrasi di dalam hakekat pengetahuan manusia itu sendiri.

Masyarakat juga tidak boleh terjebak pada ilusi obyektivisme. Obyektivisme adalah paham yang berpendapat, bahwa realitas berada secara bebas dari kesadaran manusia, dan bahwa manusia bisa mencapai pengetahuan yang obyektif dan universal tentang realitas dengan menggunakan pendekatan yang ilmiah. Pandangan ini sesat tepat karena menutupi aspek pertarungan kekuasaan dan nilai yang berada di balik pernyataan ilmiah, baik di dalam ilmu-ilmu alam, dan terutama di dalam politik. Pandangan ini tidak peka dan mengabaikan begitu saja pada faktor kekuasaan di dalam pembentukan pengetahuan manusia.

Lembaga survei dan riset ilmiah boleh mengeluarkan pernyataan apapun. Kelompok-kelompok kepentingan boleh memberikan pengaruh pada politik bangsa. Akan tetapi masyarakat Indonesia tidak boleh terjebak pada ilusi-ilusi yang disebarkan dengan mengatasnamakan obyektivitas ilmiah ataupun kebenaran universal! Sudah saatnya masyarakat berani untuk berpikir sendiri!

Keterbatasan pengetahuan kita sebagai manusia berakar pada keterbatasan kemampuan kita sebagai manusia. Kita adalah mahluk terbatas yang dihadapkan pada realitas yang tidak terbatas.***

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Hubungan Pengetahuan dan Nilai”

  1. assalamu’alaikum kak,,,,,,,,,,,
    saya ingin menanyakan hal ini. apakah bisa ilmu pengetahuan bebas nilai??
    lalu bagaimana kritikan yang disampaikan oleh kaum pendukung feminisme, sosilogi, dan posmoderenisme terhadp konsep ilmu pengetahuan bebas nilai.
    thank’s…
    mohon di jawab ya.

    Suka

  2. Halo juga,

    Ilmu pengetahuan tidak pernah bisa bebas nilai.

    Feminisme: ilmu pengetahuan yang sekarang ada menempatkan kepentingan pria, dan wacananya, di atas kepentingan perempuan. Akibatnya kaum perempuan tetap tertindas, karena dipandang sebagai kelas dua di dalam masyarakat.

    Sosiologi: ilmu pengetahuan selalu tertanam pada konteks sosial masyarakat tertentu, maka tidak pernah netral, apalagi universal.

    posmodernisme: ilmu pengetahuan selalu bersifat relatif, karena berpijak satu narasi yang sifatnya lokal. Tidak ada yang universal di dunia ini, begitu pula ilmu pengetahuan.

    Semoga bisa membantu

    Suka

  3. asalam’ualikum. Wr.Wb…
    Yth. Bapak Reza
    di
    Tempat.
    Dengan Hormat.
    Maaf pak, saya mau nanya nih. apakah hubungan ilmu dengan nilai-nilai kehidupan ?
    mengapa perkembangan ilmu tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai kehidupan?
    terimakasih ….

    Suka

  4. Ilmu mengabdi pada pengembangan nilai-nilai kehidupan, termasuk untuk memurnikan nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Maka ilmu tak bisa dipisahkan dari nilai-nilai kehidupan. Ilmu yang dipisahkan dari nilai kehidupan biasanya justru merusak kehidupan itu sendiri.

    Suka

  5. Selamat sore pak….
    Saya mau nanya pak….apa sih implikasinya bagi kehidupan kita jika ilmu itu bebas nilai dan tidak bebas nilai ? terima kasih….tolong dijawab langsung ya pak…

    Suka

  6. artinya, ilmu juga bisa salah, tergantung dari orang yang meneliti dan menggunakannya. Ilmu bukan kebenaran mutlak. Lalu, kita belajar untuk lebih rendah hati, ketika melakukan penelitian ilmiah.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.