Hidup ini Absurd?

Hidup ini Absurd?

“….Kepercayaan akan Allah adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan persoalan, tetapi tidak tepat mengena inti permasalahan, maka juga tidak efektif sebagai jalan keluar…”
Nietzsche

“….Penderitaan di dalam hidup ini semakin tidak dapat dipahami, jika yang menderita adalah anak-anak kecil yang tak bersalah…”
Camus

Hidup ini memang penuh dengan penderitaan. Terkadang, kesulitan datang bertubi-bubi, tanpa memberikan satu ruang untuk bernafas barang sebentar pun.

Kesulitan yang satu belum selesai, kesulitan yang lain sudah datang menghadang. Kebahagiaan dan kesenangan pun datang hanya disela-sela deretan kesulitan tersebut.

Di hadapan semua kesulitan ini, bagaimanakah kita harus bersikap? Penderitaan dapatlah memukul seseorang, sehingga orang itu merasa bahwa hidup ini tidaklah bermakna.

Hidup ini absurd. Hidup ini sia-sia. Yang ada hanyalah penderitaan dan kekecewaan terus menerus.

Kesenangan hanyalah bagian kecil dari hidup. Bagi sebagian orang, tawa dan kebahagiaan itu amatlah mahal, sehingga hampir tak terbeli lagi.

Apakah hidup ini absurd? Apakah hidup ini bermakna? Apakah hidup ini layak dijalani?

Jika ya, mengapa kekecewaan, penderitaan, kesepian, serta masalah mengisi sebagian besar hidup kita? Jika tidak, mengapa kita tidak bunuh diri saja?

Toh hidup ini tidaklah bermakna. Hidup ini kan absurd.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang khas pertanyaan orang yang sedang dilanda penderitaan berat, seperti kehilangan orang tercinta, kehilangan harta benda, gagal dalam cita-cita, patah hati, dikhianati oleh teman, dan sebagainya.

Akan tetapi, pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sangat mendasar, baik bagi orang yang sedang dilanda penderitaan berat, ataupun yang sedang berbahagia.

Bagi penulis, pertanyaan yang paling mendasar dari semua pertanyaan tersebut adalah, apakah hidup ini bermakna?

Jawaban orang religius

Camus, seorang filsuf dan sastrawan Perancis yang hidup di pertengahan abad ke-20, berpendapat bahwa hidup ini absurd, tidak bermakna. Pengandaian Camus adalah bahwa Allah itu tidaklah ada, maka kita tidak boleh berpegang pada sesuatu yang tidak ada.

Jika seseorang masih percaya akan Allah, maka semua kesulitan dan persoalan rumit yang kita hadapi dalam hidup masihlah selalu memiliki jalan keluar. Situasi penderitaan, situasi kesulitan, selalu sudah dihayati di dalam kerangka relasi dengan Allah tersebut, sehingga justru mempertebal keyakinan iman orang yang mengalami penderitaan.

Akan tetapi, pola jawaban seperti itu lebih tampak sebagai sebuah pelarian, terlalu lurus, dan tidak variatif. Orang yang memiliki iman selalu memandang semua permasalahan secara optimis.

Ada dua alasan yang membuat pemahaman orang religius itu tidaklah menarik ataupun mencukupi. Pertama, orang yang religius cenderung mengasalkan semuanya pada suatu entitas, yakni Allah yang belum jelas keberadaannya. Sulitlah jika kita menjadikan entitas yang belum jelas tersebut sebagai titik tolak pengandaian suatu refleksi yang mendalam dan rigorus.

Kedua, refleksi-refleksi religius tidaklah mengesankan orang yang mau mencari pendalaman yang paling dalam melalui refleksi yang ketat dan rasional. Sikap yang timbul dari orang yang religius adalah reaktif, emosional, dan tidak mencerminkan kreativitas dan orisinalitas di dalam butir-butir pemikirannya.

Hidup ini Absurd

Camus menyoroti absurditas hidup manusia ini dengan tajam. Di sini, absurditas dapatlah diartikan sebagai ketidakmampuan manusia untuk memberikan tujuan dan makna bagi hidupnya, serta ketidakmampuan manusia untuk mencari jawaban pada Tuhan.

Ia berpendapat bahwa manusia haruslah menyatakan kematian Allah, sehingga mereka mengakui dunianya sendiri. Mencari jawaban melulu kepada Allah adalah tindakan pemalas yang mau mencari gampang-gampangnya saja.

Kepercayaan akan Allah adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan persoalan, tetapi tidak tepat mengena inti permasalahan, maka juga tidak efektif sebagai jalan keluar.

Penderitaan dan kekecewaan membuat dunia ini absurd. Di samping itu, absurditas ini juga dapat terungkap melalui berbagai macam hal, seperti fakta bahwa dunia ini indah, tetapi hidup manusia bersifat sementara, dan tetaplah penuh penderitaan.

Nilai keindahan ini percuma, jika manusia yang menikmatinya terlibat dan terjebak di dalam penderitaan.

Dunia ini juga absurd, karena tidak bisa menerangkan kontradiksi-kontradiksi yang ada padanya. Dunia ini tidaklah bermakna, karena tidak bisa menerangkan adanya kemalangan, bencana, ataupun tujuan manusia.

Jika ditilik lebih jauh, sebenarnya dunia ini tidak hanya absurd, tapi juga irasional. Absurditas itu muncul, karena orang mempertanyakan hidupnya, tapi tidak menemukan jawabannya.

Hidup tampak lebih seperti permainan saja. Hidup ini irasional, karena berbagai jawaban rasional yang kita berikan atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam hidup cenderung tidaklah sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi lebih sebagai apa yang seharusnya.

Gempa yang tiba-tiba datang menelan korban harta benda maupun jiwa manusia tak dapat diterangkan begitu saja sebagai akibat dari suatu sebab. Bagi mereka yang mengalaminya langsung, gempa tersebut sungguh absurd, dan tidak bisa diterima begitu saja.

Kematian

Kejahatan apakah yang telah dibuat oleh Bantul dan daerah sekitarnya, sehingga mereka harus menderita kerugian sebesar itu? Bagi anak-anak kecil yang menjadi korban gempa, kejahatan apakah yang telah mereka perbuat, sehingga mereka juga harus menjadi korban?

Penderitaan di dalam hidup ini semakin tidak dapat dipahami, jika yang menderita adalah anak-anak kecil yang tak bersalah.Kematian jugalah menjadi salah satu tanda keabsurditasan hidup, jika orang tidak mampu menerima kehadiran Tuhan. Menjelang kematian, setiap orang bertemu dengan kenyataan yang tidak dinginkannya.

Kematian mungkin merupakan kunci terakhir untuk menilai makna kehidupan ini. Jika kehidupan ini sungguh bermakna, mengapa ada kematian yang tiba-tiba datang dan menghancurkan semua hal yang sudah dibangun manusia di dalam hidupnya?

Apakah manusia harus menyerah begitu saja ditelan oleh kematian, dan mengakhiri hidupnya yang sudah dirangkainya sekian lama?

Pertanyaan seperti itu tidaklah boleh dijawab dengan menyatakan bahwa ada kehidupan setelah kematian. Itu ciri dari cara menjawab orang religius, yang menunjukkan kelemahan dan kemalasan berpikir.

Di samping itu, jawaban seperti itu tidak mempunyai dasar logis yang kuat, tetapi hanya merupakan ungkapan optimisme emosional belaka.

Bunuh diri

Memang, bagi banyak orang, hanya ada satu persoalan filsafat yang cukup mendesak untuk diperhatikan, yakni bunuh diri. Apakah kehidupan yang kita semua jalani itu layak atau tidak? Itulah pertanyaan utama yang harus dijawab oleh setiap orang.

Akan tetapi, ternyata persoalannya jauh lebih rumit daripada yang kita bayangkan.

Jika kehidupan yang kita alami ternyata penuh dengan “bencana gempa” dan menjadi kehidupan yang brengsek, kehidupan yang penuh dengan penderitaan, kehidupan yang pahit, yang penuh dengan kebencian, dendam, dan sebagainya, apakah hidup ini masih memiliki makna, sehingga orang patut memperjuangkan dan menghayati hidup ini?

Sungguh suatu pertanyaan yang absurd
Heroisme dalam Keabsurditasan

Kita memang harus menentukan sikap dalam menghadapi hidup yang absurd ini. Saya, seperti Camus, tidak mengakui adanya Tuhan.

Setiap pendapat yang menolak adanya Tuhan akan melihat terbukanya suatu wilayah baru di dalam kehidupan untuk direfleksikan.

Wilayah baru itu oleh para filsuf diisi oleh macam-macam hal. Marx mengisinya dengan menyatakan perjuangan kelas proletar untuk menghancurkan kelas borjuis.

Sementara itu, Nietzche mengisi wilayah baru itu dengan cita-cita pembinaan “manusia atas”, atau overman, yakni manusia yang menentukan dirinya sendiri yang selera dan kualitas dirinya melampaui manusia-manusia lainnya yang tidak mampu berpikir sendiri.

Ide seperti memang tidak dilarang, tetapi tidaklah terlalu perlu juga. Jika masa sekarang itu absurd, bukankah masa depan itu juga absurd?

Masa depan itu tidak pernah dapat dipahami. Seorang yang menyadari dunianya sebagai absurd tidak pernah merasa bisa berbuat lain kecuali bergulat dengan hidupnya yang absurd, yang ada di depan matanya.

Karena hidup ini absurd, maka segala bentuk agama, cita-cita ke masa depan, dan ideologi-ideologi yang menjanjikan harapan di masa depan jugalah absurd.

Manusia yang absurd tidaklah memiliki pretensi moral. Ia tidak mau sok membicarakan apa yang harus dilakukan oleh kita semua untuk dapat memaknai hidup ini.

Manusia yang menyadari bahwa dunia ini absurd tidak mau mengajarkan nilai-nilai moral kepada orang lain. Moral yang formal jugalah dipandangnya sebagai absurd.

Orang tidak pernah mampu secara absolut menentukan apa yang benar dan apa yang baik, karena nilai-nilai selalu berubah dan diputabalikkan demi kepentingan suatu pihak tertentu.

Nilai disini harus dilihat bukan sebagai sesuatu yang absolut, melainkan yang selalu bergerak menyesuaikan diri dengan sejarah.

Manusia tidaklah dapat menganggap diri sebagai seorang pahlawan di dalam dunia yang absurd ini, tetapi sebagai manusia absurd. Manusia absurd adalah manusia yang menyadari keabsurditasan hidup ini, sehingga ia bertindak hanya untuk masa kini, dan dengan itu meninggalkan masa lampau dan masa depan.

Rumusan yang paling tepat dalam berhadapan dengan absurditas hidup ini adalah memberontak. Manusia yang menyadari absurditas hidupnya dapat menjadi menyerah dan putus asa, tetapi dapat juga menjadi pemberontak.

Dengan memberontak terhadap kehidupan yang absurd ini, kita dapat menjadi orang yang memiliki pendirian moral kuat di tengah keputusasaan dan kesepian.

Ada dua hal yang dapat disimpulkan dari tesis tentang pemberontakan ini. Pertama, pemberontakan ini haruslah dikobarkan terus menerus.

Caranya, kita haruslah menyadari kodrat dunia kita yang absurd ini, dan kemudian menolak untuk terhanyut di dalam tragedinya.

Kedua, pemberontakan juga harus diarahkan kepada kematian. Kita haruslah berani berteriak bahwa kita ini hidup di hadapan wajah kematian.

Begitu pula, kita harus berani berteriak bahwa kita ini tetap bertahan, walaupun hidup tampak tidak bermakna.

Simpul akhir

Berbicara tentang absurditas tidaklah berarti kita berbicara untuk sesuatu, tetapi kita berbicara tentang pengalaman. Dan pengalaman, terutama pengalaman kematian, adalah pengalaman yang paling pribadi dan tak terkomunikasikan, kecuali bagi orang yang mengalaminya langsung.

Titik tolak diskursus tentang absurditas adalah pengalaman akan kehidupan yang pahit, yang penuh dengan penderitaan dan kemalangan. Pengalaman ini adalah pengalaman yang wajar. Terjadinya penderitaan di muka bumi, seperti gempa di Yogya dan tsunami di Aceh, tidak dapat diperkirakan ataupun dipikirkan.

Penderitaan itu ada begitu saja, dan kemudian mengambil tempatnya di dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, bagaimana kita bersikap terhadap penderitaan, sehingga penderitaan itu menjadi tampak wajar?

Camus, yang terang-terangan tidak mengakui keberadaan Tuhan, tidak harus heran dengan pertanyaan ini. Ia sendiri terlibat di dalam penderitaan, dan kemudian menyatakan pemberontakannya terhadap kenyataan yang pahit ini.

Akan tetapi, apakah kenyataan duniawi semacam itu haruslah dinilai melulu secara negatif?

Di dunia, ada segi-segi keindahan yang harus dipertahankan. Inilah dunia itu sendiri, yang membuat manusia dan semua mahluk hidup berjuang untuk tetap tinggal di dalamnya, serta membenci kematian.

Keindahan ini adalah padang rumput hijau, yang tidak tersentuh oleh gempa bumi maupun tsunami. Sungai yang bening. Laut yang bersih.

Dengan kata lain, ada sikap mendua terhadap segala sesuatu di dunia ini, yang membuat manusia sekaligus memberontak, tetapi juga mencintai dunia.

Ingat, cinta di dunia mengandaikan orang pernah merasakan penderitaan. Dan penderitaan mengandaikan orang pernah merasakan cinta. Jika ada kemenduaan di dalam semua aspek hidup manusia, maka yang harus dilakukan adalah memilih aspek apa yang akan saya peluk, dan perjuangkan. Lalu, absurdkah hidup ini? Saya harap anda sudah bisa menjawabnya.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Hidup ini Absurd?”

  1. tulisan yg bagus. saya sendiri hampir sepaham dg tulisan ini, mungkin. sy sendiri tdk tau betul.
    kalau hidup sudah absurd sejak awal, untuk apa kita hidup?
    sy sering mnanyakan itu.

    dan setiap kli melakukannya, saya nanya balik ke diri saya.
    untuk apa mesti mati? tonton saja, byk hal yg tak terduga dibalik absurditas ini.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.