Takut Untuk Berduka?

Takut Untuk Berduka?

Ironis, dalam tiga bulan belakangan ini, ada tiga orang saudara yang meninggal di keluarga saya. Memang, mereka bukanlah saudara dekat, tetapi cukup menyedihkan juga sebenarnya.

Keluarga kami pun menerima banya kartu tanda turut berduka cita. Yang menarik adalah, isinya ternyata tidak sesuai dengan harapan kami.

Ada yang menulis “anda haruslah berbahagia, karena anda memiliki kenangan tentang dia (yang meninggal)”. Ada juga yang menulis, “Anda harus merasa beruntung, Tuhan menyertai Ayah anda.” Yang terakhir ini sebenarnya ditujukan pada saudara saya, yang juga sebenarnya bukan saudara dekat.

Hmm.. ada yang meninggal, tetapi merasa bahagia? Beruntung? Aneh…

Beberapa kartu yang diterima bahkan tidak menyinggung kematian saudara saya sedikit pun. Alih-alih begitu, kartu itu lebih banyak menyinggung “bagaimana kabar anak-anakmu?”, atau “bagaimana pekerjaanmu?”

Sekali lagi, aneh….

Berduka

Kematian memang selalu mengundang tangis, siapapun yang meninggal. Saya sendiri biasanya menangis, ketika mengingat ada seorang saudara atau teman yang meninggal.

Saya menangis, karena penderitaan yang ia alami terlebih dahulu dari saya. Saya menangis untuk keluarga yang ditinggalkannya.

Saya menangis untuk masa lalu, masa kini, dan masa depan dia dan keluarganya. Saya menangis untuk masa-masa berduka yang akan dialami oleh keluarganya.

Kenapa orang-orang dewasa ini takut, atau segan atau malu, mengatakan “saya berduka atas kehilangan yang kamu dan keluargamu derita”? Mengapa orang-orang seolah mengabaikan bahwa setelah kematian seseorang, selalu ada masa-masa berduka yang harus dilewati?

Tampaknya, orang-orang mengira, jika mereka mengucapkan bela sungkawa yang terlalu lugas, maka keluarga yang ditinggalkan akan semakin merasa sedih. Pada hemat saya, hal ini tidak selalu tepat.

Sebaliknya, jika keluarga yang ditinggalkan diberi kesempatan untuk merasa sedih, untuk berduka, maka mereka akan menjadi lebih kuat. Ada waktu untuk semuanya, termasuk untuk bersedih dan berduka.

Mungkin, kita harus meninjau kembali cara kita berkomunikasi dengan orang-orang yang berduka, terutama karena banyak sekali orang berduka sekarang ini. Decourcy Hinds, seorang penulis di Newsweek, menyarankan hal yang bagus sekali:
“Biarkan orang yang berduka berduka!”

Waktu untuk Berduka

Saya menulis hal ini bukan berarti saya tidak melakukan kesalahan yang sama. Sebelum ini, jika ada orang yang meninggal, saya sering berkata, “Ia sudah sakit cukup lama. Sekarang, ia sudah tidak menderita lagi. Bukankah itu hal yang bagus?”

Orang yang baru saja ditinggal oleh keluarga yang dicintai terkadang tidak bisa begitu saja gembira atau merasa senang, karena ucapan-ucapan semacam itu. Memang, pepatah mengatakan kesedihan bisa luntur dengan berlalunya waktu.

Terkadang, pepatah itu benar. Akan tetapi, seringkali juga, pepatah itu salah.

Sadarkah anda, bahwa pernyataan turut berduka cita sebenarnya adalah salah satu pernyataan yang paling sulit keluar dari mulut kita? Mungkin, tingkat kesulitan pengucapan pernyataan ini setara dengan tingkat pengucapan kata maaf. Maksud saya adalah maaf yang sungguh-sungguh, dan bukan maaf untuk basa basi.

Belajar dari gajah

Lalu, bagaimana sih tepatnya kita menyatakan bela sungkawa kita terhadap orang yang berduka? Dalam hal ini, seperti ditulis oleh Hinds, kita bisa belajar banyak dari gajah.

Gajah terkenal sebagai mahluk yang selalu berkelompok, ketika mereka merasa bersedih (Hinds, 2007). Nah, seperti gajah, kita harus tetap terhubung dan terbuka terhadap orang-orang yang sedang berduka sedikit lebih lama dari 3 jam upacara kematian.

Bersedih adalah suatu aktivitas privat. Akan tetapi, bersedih juga bisa menjadi aktivitas publik.

Kita harus mulai berhenti takut dan segan terhadap tindak bersedih secara publik. Kita perlu terbuka buat orang-orang yang berduka.

Kita perlu menatap langsung mata orang yang berduka, dan berkata padanya, “saya turut berduka..”

Reza A.A Wattimena

.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

2 tanggapan untuk “Takut Untuk Berduka?”

  1. Hi, this is a comment.
    To delete a comment, just log in, and view the posts’ comments, there you will have the option to edit or delete them.

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Mr WordPress

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.