“Lemak-lemak” Kehidupan

huffpost.com
huffpost.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang Penelitian di München, Jerman

Hidup kita dipenuhi dengan “lemak-lemak”. Dalam arti ini, lemak adalah “sesuatu yang lebih”. Banyak orang mengejar dan menumpuknya, walaupun ia tidak membutuhkannya. Justru, “lemak-lemak kehidupan” inilah yang seringkali menghambat hidup kita.

Lemak di dalam tubuh fisik, sejatinya, memang memiliki fungsi ganda. Di satu sisi, manusia membutuhkannya untuk berbagai tujuan, seperti daya tahan tubuh, melawan dingin, dan sebagainya. Namun, tumpukan lemak dalam tubuh pula yang menciptakan berbagai penyakit, seperti jantung, kolesterol, dan sebagainya. Sebagai manusia, kita membutuhkan lemak dalam jumlah yang tepat, tidak lebih dan tidak kurang.

“Lemak-lemak” Pribadi

“Lemak-lemak kehidupan” tidak hanya ada di dalam tubuh, tetapi juga di semua bidang kehidupan. Hidup pribadi maupun hidup bersama kita sebagai masyarakat di Indonesia juga dipenuhi dengan lemak. Kehadiran lemak ini menutupi apa yang sungguh penting. Kita pun lalu sibuk dan membuang tenaga untuk hal-hal yang tidak penting.

“Lemak-lemak kehidupan” pertama yang harus kita perhatikan di dalam hidup pribadi kita adalah “lemak harta”. Sebagai manusia, kebutuhan kita tidak banyak. Namun, karena rayuan iklan dan demi meningkatkan gengsi, kita lalu menumpuk harta yang sebenarnya tidak lagi kita butuhkan. Jika kita gagal dalam perjalanan untuk menumpuk harta (yang adalah lemak kehidupan), kita lalu merasa gagal yang kemudian bermuara pada stress, depresi, dan gangguan kejiwaan lainnya yang membuat kita tak bahagia. Bahkan, kita bisa bunuh diri, karena hal ini.

“Lemak-lemak kehidupan” kedua adalah emosi dan perasaan. Kita seringkali tak sadar, bahwa emosi dan perasaan kita tidaklah alamiah. Kemarahan, kesedihan, kesepian, dan ketakutan bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan dibentuk dalam pola asuh dan pengalaman hidup kita sejak kecil. Banyak orang tidak sadar akan hal ini, lalu mengikuti emosi serta perasaan mereka begitu saja, tanpa sikap awas dan sikap kritis.

“Lemak-lemak” Sosial

Kehidupan bersama kita sebagai masyarakat dan bangsa juga ditimbun oleh lemak. Saya menyebutnya sebagai “lemak sosial”. Lemak ini menumpuk begitu banyak di dalam sistem politik kita, sehingga memperlambat dan bahkan menghancurkan fungsi-fungsi sistem politik yang ada. Ia adalah salah satu penyebab utama, mengapa bangsa Indonesia, dengan segala kekayaan manusia dan alamnya, masih terjebak di dalam kemiskinan dan keterbelakangan.

“Lemak-lemak kehidupan” pertama dalam konteks ini adalah tradisi, atau “lemak tradisi”. Tradisi memang penting dalam hidup bersama. Ia menegaskan identitas, dan memberikan arah tentang hidup yang benar seturut dengan nilai-nilai masyarakat. Namun, tradisi juga kerap menjadi penghalang bagi kita untuk berpikir baru untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan.

Di tingkat politik, kita juga bisa menyaksikan lemak-lemak sosial dalam bentuk birokrasi raksasa yang tidak efisien dan aturan-aturan yang begitu banyak, namun tidak perlu, dan justru menghambat perkembangan. Untuk mendirikan perusahaan, orang perlu untuk berkeliling kantor-kantor pemerintah, bahkan menyuap. Untuk mengirimkan barang ke luar negeri (ekspor), orang juga perlu melalui berbagai macam pihak. Mayoritas tidak perlu, dan hanya minta disuap dengan uang saja.

Korupsi adalah lemak sosial yang paling ganas dan berbahaya. Pada dasarnya, korupsi adalah penipuan. Orang berkata lain dari tindakan maupun niatnya. Korupsi menghasilkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang begitu besar, seperti yang kita lihat di Indonesia sekarang ini. Dari keadaan ini, kekerasan dan fundamentalisme dalam segala bentuknya lalu tumbuh dengan subur.

Agama di Indonesia juga memiliki timbunan “lemak sosial” yang amat besar. Obsesi pada ritual dan ajaran permukaan menutupi nilai tertinggi dalam agama-agama tersebut. Penampilan luar dalam bentuk busana dan kesalehan dangkal dalam bentuk rajin berdoa (tanpa cinta dan penghayatan) menjadi lemak sosial yang paling ganas dari agama. Akhirnya, semua itu justru menghambat perkembangan batin, iman dan perilaku manusia Indonesia itu sendiri.

Melampaui Lemak

“Lemak-lemak kehidupan”, baik di tingkat pribadi maupun sosial, haruslah dilenyapkan. Banyak orang tidak melihat hidupnya diselubungi oleh lemak-lemak ganas yang menggerogoti inti hidupnya. Ini adalah tantangan terbesar untuk melampaui “lemak-lemak kehidupan”. Hanya ada satu hal yang mampu melampaui “lemak-lemak kehidupan”, yakni kesadaran.

Kesadaran yang tertinggi yang bisa diraih manusia adalah kesadaran tentang dirinya sendiri. Ia mesti melihat ke dalam dirinya sendiri, apa yang menjadi lemak-lemak kehidupannya. Bentuk lemaknya beragam, mulai dari harta benda yang sesungguhnya tidak dibutuhkan, sampai dengan emosi serta perasaan negatif yang lahir dari pola didik dan masa lalu yang mungkin saja kelam. Semua itu mesti disadari sebagai lemak-lemak kehidupan yang menghalangi kita menuju kebahagiaan.

Hal yang juga perlu dilakukan pada tingkat sosial politik. Lemak-lemak sosial, seperti birokrasi yang tebal, aturan-aturan yang berbelit, serta korupsi, juga harus disadari sebagai suatu masalah. Dari kesadaran lalu berkembang kejernihan dalam memandang masalah sebagai masalah, dan bukan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Inilah yang disebut sebagai kejernihan berpikir.

Kesadaran akan menuntun pada kejernihan. Kejernihan akan menuntun pada tindakan yang tepat. Tindakan yang tepat berarti tindakan yang lahir sebagai tanggapan yang tepat atas suatu keadaan nyata yang sesungguhnya terjadi. Inilah inti dari pencerahan batin yang menjadi titik awal sekaligus bagian terpenting dari pencerahan sosial.

Kejernihan batin (1), sikap yang tepat sesuai dengan keadaan (2), serta pencerahan sosial (3) hanyalah sesuatu yang bisa diperoleh, jika kita mulai mengurangi “lemak-lemak kehidupan” yang sudah ada. Ini perlu dilakukan di tingkat hidup pribadi maupun sosial. Ketiga hal di atas bukanlah sesuatu yang baru yang berasal dari luar diri. Sebaliknya, kita sebagai manusia selalu mempunyai ketiga hal itu. Namun, sayangnya, ia kerap kali tertutup dan dilumuti oleh “lemak-lemak kehidupan”.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.